Apa jadinya hujan tanpa gerimis, bukanah hujan tetaplah hujan. Proses penguapan air laut yang ditampung oleh awan, hingga bobot air tak dapat ditampung maka jatuhlah ia ke bumi. Bukankah hujan dan gerimis mengeluarkan produk yang sama. Lalu dimana proses gerimis yang kau agung-agungkan itu? tanyamu padaku di suatu sore.
Hujan tanpa gerimis seperti musik tanpa intro, ada ritme yang hilang dan kita seperti mendengarkan sebuah alunan lagu yang tak utuh, betapa tidak nyamannya keadaan itu. Aku tidak pernah mengagung-agungkan gerimis, hanya menikmatinya. Lagi pula gerimis itu baik, dia datang untuk menandakan hujan yang lebat akan datang, kalaupun tidak, gerimis tidaklah mengahancurkan hanya butiran air kecil yang jatuh ke bumi. Itu yang kukatakan kepadamu, meski aku tahu dari guratan wajahmu kamu sama sekali tidak merasa puas atas jawabanku. Lalu kamu pergi meninggalkanku, tanpa kata dan hanya tersenyum kecil.
Terkadang aku heran, bagaimana dua anak manusia yang memiliki biner karakter dapat disatukan, dua arah yang berbeda meski tak tahu apakah memiliki tujuan yang sama. Sebuah keajaiban yang mampu membuatku bertahan dengan orang yang kupanggil robot. Aku selalu menganggapmu seperti itu dan kamu tahu itu dengan segala alasan yang amat sangat sederhana. Kamu selalu mengkalkulasi hidup, menghitungnya seolah hidup adalah soal matematika yang harus dipecahkan dengan rumus yang berbeda. Hanya ada hitam dan putih yang bersemayam di otakmu, bukankah abu-abu lebih menarik? Sebuah penggabungan yang membuyarkan dua karakter yang kuat menjadi lebih hidup.
Aku tak bisa melewatkan gerimis, tapi kita hidup dalam ruang yang membentuk kita. Ruang yang membuatku terbentuk menjadi orang tak leluasa menikmati gerimis. Meski aku bisa menentukan ruangku sendiri, itu hanya sementara, selanjutnya kita terpenjara oleh rutinitas ruang yang dibentuk secara massal. Pernahkah kita mencoba lari dan bersembunyi dalam ruang yang kita bangun sendiri, tanpa orang lain, tanpa rutinitas dan tanpa paksaaan, di dalamnya hanya ada aku dan duniaku. Sering kita melakukannya, tapi hanya sekejap karena ketika kita tersadar, alam nyata merengut dunia yang telah kita bangun.
Kamu datang dengan dua cangkir yang sama tapi tidak dengan isinya, secangkir kopi hitam dan secangkir cokelat. Kamu bukan penikmat kopi, tapi kamu mampu menyajikan segelas kopi dengan takaran yang pas, meski kamu sendiri belum pernah mencobanya.
Dua sendok kopi dan satu sendok gula, lalu diseduh dengan air yang mendidih, kan? ungkapmu kali pertama membuat kopi untukku. Otakmu terus mengingat apa yang kuinstruksikan cara membuat kopi, hari itu mulailah kamu menjadi seorang barista dadakan. Barista yang tak menyukai kopi, tak pernah mencicipi dan hanya menggunakan rumus 2X1 yang kamu tahu. Sekali lagi, kamu menunjukan bahwa menikmati sesuatu dibutuhkan rumus, dan kamu selalu bangga akan hal itu.
Kemarin kamu datang dengan dua cangkir yang sama dengan isi yang sama, tak ada yang berbeda. Cangkir yang biasanya berisikan kopi dan cokelat hangat itu ini menjelma hitam keduanya. Ada yang berbeda dengan kamu dan aku tidak tahu persis itu. Kamu mulai duduk di hadapanku, tanpa mengeluh dan tanpa berucap. Menyeruput kopi secara perlahan lalu ditengguknya pelan. Aku memang tidak pandai membaca raut wajah, tapi aku tahu kamu sedikit tersekat ketika menelannya, wajahmu sedikit memerah karena merasakan ada yang tak nyaman mengalir dalam tenggorokanmu dan mengisi lambungmu.
Gerimis turun dan kamu duduk di teras sambil mendekap kedua kakimu, aku mengambil beberapa helai pakaianku yang sedang dijemur lalu duduk di sebelahmu sambil mendekap kedua kakiku. Kamu memandang gerimis itu tajam, seolah mencari arti gerimis yang sering kamu tanyakan, tapi tidak dengan kata. Aku masih belum menemukan kata yang lewat dari bibirmu, sejak datang kamu hanya tersenyum dan memilih diam.
“Aku tidak bisa menikmati keduanya” katamu dengan nada datar.
“Menikmati apa?”
“Kamu tau itu, tapi kenapa kamu bertanya?”
“Aku nggak tau.”
“Lalu bagaimana aku bisa suka dengan segala kebiasaanmu tanpa aku pernah tau cara menikmatinya. Aku ingin mencintaimu seutuhnya, mencintai kesukaamu, menikmati kopi dan gerimis bersamamu, tapi semua datar. Aku tak pernah bisa mencintai keduanya. Tak menemukan jawaban yang kucari.”
 “Kamu nggak perlu melakukan itu. Kamu adalah kamu dengan segala yang kamu cintai dan kamu miliki. Kamu menikmati hidup dengan mengkalkulasinya, merumuskannya, hal yang tak kupahami sampai hari ini. Tapi, aku ingin kamu tetap seperti itu dan setiap kali aku tersadar dari ruang personalku, aku ingin kamu di hadapanku. Kamu dunia nyataku.
Sela jemari yang kosong mulai saling menutupi, jarak kian terhapus, tubuh kita menjadi satu dalam pelukan. Kali ini, gerimis akan menjadi berbeda bagiku. Tak perlu lagi pergi, tak perlu lagi bersembunyi ke ruang personalku, cukup kamu. Kamu.

Setelah selesai pesta pernikahan sepupu saya, yang saya rasakan adalah lelah. Sebuah kata yang mampu menggambarkan perasaan yang mungkin akan dirasakan oleh siapa saja yang ikut dalam pesta pernikahan keluarganya. Soal pernikahan tidak hanya teradi pada hari H, proses berunding telah berjalan sejak mulai lamaran, prawedding, foto, baju pengantin, catering, hiburan, tamu undangan, penghulu, tempat, adat yang dipakai dalam prosesi pernikahan bahkan setelah acara selesai masih ada yang harus dibenahi sepeti bayar sewa tempat, dekorasi, fotografer dan dibutuhkan energi extra utntuk mengkalkulasi semuanya dengan biaya yang tak sedikit pula.
Sambil beristirahat setelah rentetan panjang pesta pernikahan sepupu saya, ada hal yang menarik saya untuk terus berpikir, pesta telah usai tapi hidup yang kita jalani belumlah usai. Babak baru pernikahan barulah dimulai, sepasang pengantin yang akan menghabiskan hidupnya bersama dengan aral dan rintangan yang tak sedikit. Saya dan keluarga dari kedua belah pihak memiliki harapan yang sama, semoga pernikahan mereka langgeng hingga menutup usia.
Mungkin kata “lelah” juga dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia yang telah turut terjun dalam pesta demokrasi 2009 ini, tidak hanya agenda pemilihan caleg saja tapi pemilihan orang nomor satu di Indonesia ini sangat menguras tenaga dan pikiran kita. Setidaknya kita akan banyak membicarakan kemewahan apa saja yang dihabiskan untuk pesta pernikahan ini, sebuah pesta yang menghabiskan tak sedikit uang negara demi tercapainya demokrasi bagi seluruh umat manusia yang bernaung di bawah payung Indonesia.
Kalau kita sedikit merenung, pesta akbar yang telah berlalu tak ubahnya seperti penikahan pengantin. Pesta ini hanyalah proses awal dari semua rentetan kegiatan pemerintah untuk lima tahun ke depan, artinya setelah terpilihnya pasangan pengantin negeri ini, tak lantas perjuangan kita telah usai justru inilah babak baru dalam pemerintahan. Dan dalam kehidupan nyata, banyak harapan yang disandarkan pada pasangan ini, duet SBY dan Budiono diharapkan mampu membawa kesejahteraan bagi Indonesia.
Permaslah dalam rumah tangga bukanlah hal yang bisa dielakkan, selalu ada saja keributan kecil yang mewarnai biduk rumah tanga seseorang. Tak bedanya dalam rumah tangga Indonesia, permasalaan yang dijumpai begitu banyak, penganguran, kemiskinan, pendidikan, kesejahteraan merupakan masalah yang nantinya akan menguji kemampuan pasangan ini untuk terus berjalan atau bercerai di tangah jalan. Tapi tak hanya berjalan juga mampu menuntaskan semua permasalah.
Meski kita tak pernah benar-benar tahu apakah mereka pasangan yang serasi atau tidak, tapi banyak harapan baru disandarkan kepada mereka. SEMOGA PASANGAN INI MENJADI SECERCAH HARAPAN BARU BAGI INDONESIA, SEMOGA SAJA.

Penikmat kopi hitam
-->
Mungkin bodoh atau tolol tingkat tinggi yang pada akhirnya membawaku pada predikat sang pengagum tanpa pernah menjadi seorang pecinta yang nyata. Seorang yang hanya bisa menikmati senyummu dengan jarak hitungan meter, bahkan tak pernah aku memberanikan diri untuk menatap matamu, mataku selalu kalah jika mendekati sudut matamu lalu pergi menjauh mencari pandangan yang tak membuatku rapuh.

Aku mengenalmu sejak lama, sejak kepindahan keluargamu tepat berhadapan dengan rumahku. Tapi kata-kata mengenal seolah telah begitu jauh berjalan padahal aku hanya tahu dan itu cukup. Butuh waktu lama hingga akhirnya aku mengagumimu, proses yang tak disangka-sangka tapi membuatku terus berdebat dengan otak dan hati, meski terkadang kita hanya perlu menerima isyarat hati tanpa perlu mendebatinya.

Waktu menikmati perannya dengan terus berputar tanpa pernah berhenti. Kata tahu tak cukup membawaku menjadi pengagum, aku menjalani hidupku, bercinta dengan orang yang kucinta. Dan kamu menjalani hidupmu , bercinta dengan orang yang kamu cinta tanpa pernah kita menjadi kesatuan yang utuh karena kita memang terpisah bukah satu paket hati atau kepingan logam yang saling melengkapi.

Aku begitu menikmati peranku, mengendap-ngendap bagai pencuri yang takut dipukuli massa padahal yang ingin kucuri hanyalah senyuman, bukan hati seorang gadis remaja yang membuatku menjadi seorang pecinta, karena aku pengagum bukan pecinta, itu yang kusadari untuk saat ini. Kamu slalu berjalan cepat jika di hadapanku, tatapanmu lurus dan tak menoleh sedikitpun kepadaku seperti orang yang takut tertabrak jika menoleh kesamping. Pusat matamu hanyalah jalan, tanpa pernah terbesit untuk menjadikanku pusat di matamu.

Entah sejak kapan kumulai mengagumimu, mengagumi senyummyu, wajahmu, cara kamu berjalan hingga akhirnya aku bisa menyukai semua yang ada pada dirimu tanpa terkecuali. Bukanah itu esensi dari cinta, menerima semua tanpa perlu mengoreksinya.

Aku tak pernah tahu, apa kamu mengagumiku seperti aku memujamu karena yang ku tahu aku hanyalah PENGAGUM bukan pecinta.

Penikmat kopi hitam

Masih seperti dulu, seperti beberapa tahun silam perkenalan kita. Kopi hitam adalah alasan mengapa kita duduk bersebelahan, berkenalan, menjadi sahabat dan akhirnya mencintai. Dan tiga puluh menit selalu menjadi perantara untuk akhirnya kita benar-benar saling berbicara. Dalam tiga puluh menit yang panjang, dimensi waktu yang di dalamnya terdapat duniamu sendiri, tenggelam di dasarnya tanpa pernah bisa aku menyelaminya.
Dan masih seperti dulu, aku selalu datang pertama. Memulai semuanya dengan secangkir kopi dan menerawang jauh memasuki dunia absurditasku, dunia yang tak mampu ku menerjemahkannya. Dunia yang mengambil ruang sendiri di tengah putaran hidup yang ku jelajahi. Lalu kamu duduk di sebelahku, membawa secangkir kopi tanpa sedikit pun menyentuhku hanya memandang sekilas. Lalu kamu pun tenggelam dalam duniamu dan ketika tersadar, kita telah melewati tiga puluh menit yang panjang, meski tidak selalu tiga puluh menit yang tepat.
Lalu kita mulai berbicara, bertanya kabar dan bercerita tentang hal-hal yang remeh. Masih terekam jelas di otakku pertama kali kamu berkomentar tentang kopi. “Sekilas memang tak ada yang istimewa dari kopi ini, tapi bagi para penikmat kopi, kopi hitam adalah sensasi yang tergambarkan. Menghirupnya dalam-dalam lalu menyurutnya di tengah kepulan asap dan perlahan kamu akan tahu, betapa kopi hitam memiliki karakter yang kuat di dalamnya” itu kata-kata yang keluar dari mulutmu untukku. Kamu berbicara seolah kamu mencintai sesuatu dengan segala alasan yang rumit.
Lalu kamu bertanya tentang kopi kepadaku, tentang alasan yang aku sendiri tak mengerti. Kopi hitam itu simple, tidak neko-neko dan yang terpenting kopi hitam tidak perlu menjadi indah untuk diminum, tampil dengan apa adanya. Itu yang aku katakan padamu, kamu hanya terdiam, tidak bereaksi apapun tentang jawaban yang menurutku terlalu sederhana ini.
Tiga puluh menit telah berlalu saat kau duduk disebelahku, tapi tak juga sepatah kata keluar dari bibirmu, seolah kamu sedang memilah-milah kata dari milyaran kata dan mengambilnya beberapa untuk memulai kebisuan ini.
“Apa kabar?” ucapmu pelan.
Waktu masih mengambil jarak antara kita, aku terdiam tak tertarik untuk menjawab pertanyaan yang kamu lontarkan. Kamu pun ikut terdiam, memikirkan kata selanjutnya untuk memeceh kebisuanku. entah dari mana satu kata itu meluncur dari bibirku yang ku tutup rapat.
“Baik”
“kamu masih tetap sama seperti dulu, dan bukan hal yang sulit untuk menemukanku, karna kamu akan selalu aku jumpai di sudut taman dengan secangkir kopi hitam” kata-kata itu meluncur deras dari bibirmu, seolah kamu menemukan air yang mendidih untuk mencairkan kebekuan kita.
“Kenapa kembali?” kataku kepadamu tanpa mengindahkan ucapanmu tadi.
“Karena kopi ini. aku kangen dengan kopi ini, dengan dunia absurditasku dan... kamu”
“Kamu sudah lupa cara menikmati kopi hitam ini dan juga aku” kataku kepadamu dengan datar tanpa menoleh sedikitpun kepadamu
“Aku hanya ingin kita bersahabat, bersama-sama menikmati semua tanpa harus embel-embel status, hanya sebagai sesama penikmat kopi hitam”
“Pergilah, kamu sudah memilih waktu itu”
Entah bodoh atau gila yang merasuki jiwa kosongku, kata-kata itu keluar dengan cepat dari bibirku tanpa sempat otakku mencerna, dan kamu pergi seketika tanpa berusaha menggoyahkan keyakinanku lagi.
Saat kamu pergi, yang kulihat hanya punggungmu dan untuk pertama kalinya aku menoleh kepadamu setelah semuanya terjadi, dan pertama itu adalah akhir.

Penikmat kopi hitam

Setiap orang memiliki falsafah hidupnya sendiri-sendiri dan cara memandang dunia ini pun beragam adanya, tapi justru keberagaman pandang ini yang membuat bumi yang tua ini menjadi berwarna. Ada yang menjalani hidup ini dengan kerja keras dan penuh semangat, mengikuti falsafah hidupnya “life 4 struggle dan hard effort” ada juga yang membiarkannya mengalir, santai dan menikmati setiap detik yang terjadi dalam hidup bahkan ada yang bilang ”gua nggak punya falsafah hidup” padahal secara tak sadar itulah falsafah yang dianutnya. Bukankah tidak memilih, adalah sebuah pilihan???
Sejak SMA, saya percaya bahwa hidup harus sebisa mungkin dinikmati dan cara menikmati hidup yaitu menjalani dengan sesantai mungkin. Kata menikmati tidak selalu berkonotasi negatif, toh menikmati hidup tidak harus dengan miras, narkoba atau free sex. Secangkir kopi di pagi hari pun sebuh cara menikmati hidup.
Menaiki tangga akademis yang semakin tinggi, tak sama sekali membuat persepsi saya tentang hidup berubah. Di bangku kuliah, masih dengan tema yang sama “let it flow” yang menjadi acuan saya dalam menalani hidup. Sekilas memang mirip antara ungkapan slow but sure dan let it flow tapi jika diperhatikan lebih dalam, kalimat slow but sure memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Slow but sure sudah berada pada proses kerja dan usaha meski masih terlihat santai, tapi let it flow lebih berkonotasi pada santai dan menunjukkan adanya usaha.
Suatu kali sahabat saya bertanya, “Apa sich cita-cita loe?”
“Nggak tau” jawab saya enteng.
“Kog nggak tau, emang loe nggak punya tujuan hidup? Atau mimpi yang pengen lo capai deh!!” tanyanya lagi dengan sedikit memaksa.
“Nggak tau ah, ribet banget pertanyaan loe. jalani hidup tuh ngalir aja ntar juga dateng sendiri” jawab saya masih dengan nada santainya.
“Pengecut loe, nggak berani nerima tantangan!!”
“Maksud loe apa bilang gue pengecut?” Tanya saya dengan emosi.
“Asal loe tau ya! air aja buat sampai ke muara butuh proses, lewat sungai, masuk got dan setelah perjalanan panjang baru sampai laut. Kalau loe bilang let it flow aja tanpa adanya usaha, sama aja loe mati konyol. Usaha dulu, baru santai” jelasnya dengan panjang lebar.
Setelah obrolan itu, saya speechless nggak tau mau jawab apa. Saya masih terus bergelut dengan pikiran saya sendiri dengan kata-kata yang dia sampaikan barusan. Meski awalnya saya menolak tapi jika direnungkan apa yang dikatakannya memang benar.
Terkadang kita akan selalu menjaga falsafah hidup yang kita pegang, terlebih jika falsafah hidup itu sudah kita pegang dari kecil. Tapi seberapa kuatnya falsafah itu, jika itu sebuah kesalahan maka sepantasnya kita untuk merubahnya. Masih banyak waktu untuk mencari jalan dan BUKANKAH SETIAP DETIK YANG KITA JALANI ADALAH SEBUAH PELAJARAN..
Penikmat Kopi Hitam
TUHAN ???
Pernah anda berjalan? Semua orang pasti pernah berjalan. Bahkan seorang bayi pun merangkak untuk belajar berjalan, apalagi anda. Ups bukannya saya menghina atau menganggap semua orang mampu berjalan, untuk anda yang tak mempunyai kaki toh anda juga akan berjalan dengan kursi roda atau setidaknya waktu yang terus berjalan mengiringi anda, karna waktu tak mungkin stagnan disatu ruang bahkan untuk sedetik pun tak akan pernah terjadi. Tapi pernah anda berjalan seperti saya, menelusuri hal yang tak pasti, membiarkan kaki melangkah mencari tuhan yang disembah manusia? Mungkin tidak atau tak pernah terbesit di pikiran anda untuk melakukannya. Jangan anggap saya sombong toh saya tak lebih baik dari anjing, atau anda bisa panggil saya babi, terserah ! saya Cuma roh yang dibungkus jasad manusia, huh akhirnya selama 19 tahun kata itu terucap dari mulut saya “ma-nu-sia”. Mencari tuhan atau mencari makan? pertanyaan itu sama saja terdengar bunyinya ditelinga sama-sama mencari, perbedaannnya hanya jasmani dan rohani tapi sama-sama dicari dan ingin terpenuhi.
Tuhan ... tuhan kali ini kau masukkan aku dalam peran apa, engkau kan sutradara dunia, penulis skenario terindah sepanjang masa tapi peranku tak jauh dari kemiskinan dan kesusahan, apa tak ada peran yang layak dan lebih baik buatku tapi sudahlah mungkin aku harus belajar banyak sehingga sang sutradara dunia merubah peranku menjadi sang milyarder. Tapi tujuan utamaku adalah mencari-Mu sebagai obat dahaga jiwaku yang selalu haus kegelisahan yang seharusnya ketemukan sebagai penuntun langkahku di dunia fana ini. Kemarin aku berperan sebagai pemulung jangan anda anggap aku meratapi nasibku tidak dan tidak sama sekali, pemulung hanya peran dan bisa kapan saja berganti sesuai skenario baru dari tuhan, semua hanya penunjang satu suap nasiku. Kemarin, seperti hari-hari sebelumnya beberapa orang menegurku sekedar menyapa atau bahkan ada yang mengajakku berbincang-bincang tanpa ujung pangkal yang jelas dan aku pun menganggapnya sebagai selingan, dan semua mengalir seperti air.

“Hai orang mana kau, bisa terdampar disini dan jadi pemulung pula?” seorang pria bertanya kepadaku, membunuh lamunanku dan dari logatnya sudah pasti orang medan.
“Gua lahir di atas pemotongan daging, beralaskan koran-koran bekas pembungkus ikan jadi dimanapun sampah-sampah berada itulah asal gue , dan itulah rumah gue” jawabku santai.
“Jadi lapar yang membuat kau menjadi pemulung ?”
“ Itu salah satu alasan gua tapi yang pertama gua mencari tuhan bukan makan, karna gua nggak mau mati sebelum bertemu tuhan dan gua butuh makan”
“Hei bengak kali kau, tak perlu lah kau jauh-jauh berjalan mencari tuhan, tuhan tu ada disini” sambil menunjuk dadanya.
“Abang salah satu dari sekian banyak orang yang bilang begitu ke gua tapi tetap aja nggak semudah itu bang, kalau memang tuhan ada di hati setiap manusia tapi kenapa gua nggak merasa puas dan mungkin gua berjalan untuk mencari kunci untuk membuka tuhan dalam hati gua”
“Yah terserah kau saja, baik-baklah kau di perjalanan agar kau tak mati sebelum mendapat apa yang kau cari, aku pergi kawan” pamitnya sambil menyalamiku.

Namanya saja aku tak tahu, walau bagaimana pun dia sudah menambah peranku untuk hari ini, mengobrol dan berbincang-bincang.
Kakiku masih terus berjalan mencari peran apa yang bisa kulakoni untuk sebungkus nasi. Matahari masih menjalarkan lidah apinya ke seantero bumi, membuat siapa saja malas keluar rumah apalagi berjalan d bawah teriknya yang menyengat akan membuat seluruh tubuh basah kuyup dengan keringat. Tapi apalah arti panas, toh kulitku memang sudah lama gosong dan rambutku memang bau matahari karna aku bukan mereka , bukan orang-orang yang biasa menghabiskan ratusan bahkan jutaan rupiah untuk merawat tubuh. Jangan salah sangka, pasti di benak kalian aku sangat benci mereka, bukan, bukan itu maksudku, aku hanya ingin bilang bagi kami makan lebih berharga dari pada perawatan atau apapun karna untuk bertahan hidup ya harus makan.
Hari ini sepertinya gudang memoriku terbuka lebar, membawa diriku dalam kejadian-kejadian yang pernah kulakukan. Sebelum akhirnya aku memutuskan menjadi pemulung aku bekerja sebagai OB (baca: office boy). Kerjaanku simple hanya membuat kopi atau teh, membeli makanan di luar sesuai kebutuhan perintah dari atasan. Gajiku bisa terbilang lumayan, untuk sekedar makan sih lebih dari cukup. Hari-hariku terus berjalan seperti kemarin dan hari ini akan menjadi cerminan tuk esok karna disini semua seperti terulang secara terus-menerus hanya beda hari, tanggal dan jam yang terus berputar. Anda pasti tahu apa yang aku rasakan ”jenuh” ya aku bosan dengan keadaan ini terlebih kesadaaranku menyeruak, disini aku hanya menjadi budak dunia mencari makan tanpa mencari tuhan dan anda juga pasti tahu apa yang akan aku lakukan, benar...benar sekali aku berhenti dan berjalan lagi hingga akhirnya aku menjadi pemulung. Jeritan klakson menyadarkanku dari ruang khayal, hari sudah sore. Matahari mulai lelah dan berlari menuju barat untuk terbenam, berhiaskan lembayung kuning keemasan mengambarkan kemegahan singgasana tuhan. Tuhan tahu kalau aku lelah dan memberi dispensasi untukku bermalas-malasan hari ini, hari ini aku hanya dijadikan sebagai musafir yang merenung dan memikirkan kemana esok kan melangkah. Matahari terbenam itu seakan menghipnotisku untuk terus melangkah ke barat tapi semua akan berubah ketika keindahan itu terbit di ufuk timur, ya sudahlah barat atau timur bukan tujuanku, tujuanku mencari tuhan akan kubiarkan kaki ini melangkah tanpa hasrat timur dan barat dan terus melngkah hingga berjumpa tuhan.
Penikmat Kopi Hitam
Cinta dan Dusta
Suatu kali ketika sedang asyiknya menikmati kopi hitam dan sebatang rokok di taman kampus, tiba-tiba teman saya duduk tepat di sebelah saya, wajahnya lesu, matanya merah dan masih membekas tetesan di sela-sela matanya yang sedikit bengkak. Dia sangat tahu bahwa saya orang yang paling tidak ingin diganggu jika sedang menikmati kopi, maka dia hanya duduk dan sesekali memutar-mutar handphonenya, karena tidak tega saya pun berkata” kenapa wi, cerita aja!!”.
Tanpa basa-basi dia pun menceritakan semuanya, dari A sampai Z dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya, pasti masalah cinta. Cerita tentang janji-janji manis yang tidak pernah terwujud, cerita tentang perubahan sikapnya dari baik menjadi kasar dan sekelumit tentang ketidakharmonisan dua insan tentang cinta. Saat itu tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut saya, toh tanpa jawaban pun saya tahu dia merasa cukup lega karena telah berbagi meski tak mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya.
Setelah dia pergi, saya masih menikmati kopi yang mulai dingin. Sejenak saya mulai merenung, mengerutkan dahi dan memutar-memutar otak saya tentang cerita tadi. Sekilas cerita tersebut hanyalah roman picisan belaka, sang perempuan menangis tersedu-sedu karena ditipu oleh sang lelaki dan akhirnya putus, tapi bagaimana dengan cerita cinta Indonesia?
Pesta demokrasi di Indonesia sudah berjalan, bahkan mendekati babak akhir. Babak awal dibuka dengan pertempuran para calon legislatif yang telah berlalu pada 9 April lalu, meski masih menyisakan banyak polemik yang belum terpecahkan, mulai dari kisruh DPT (daftar pemilih tetap) hingga dugaan kecurangan yang hingga sekarang masih dalam proses hukum di bawah naungan MK (mahkaman konstitusi).
Babak akhir dari pesta demokrasi ini adalah pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada 8 Juli nanti. Tak ada yang berbeda dengan sebelumnya, janji-janji manis mulai ditebar, angin sorga mulai dihembuskan dalam visi dan misi para capres dan cawapres. Jargon-jargon yang termuat dalam baliho-baliho mulai menghiasai seantero negeri bahkan tak sedikit uang yang dihabiskan untuk pemasangan iklan di televisi, itukah janji cinta yang ditebar oleh para capres dan cawapres, sebuah janji yang mahal untuk negeri yang kelaparan?
Siapa pun nantinya yang terpilih, mudah-mudahan saja tak hanya sekedar janji manis yang memikat hati masyarakat, semoga janji-janji itu tidak menjadi cerita cinta picisan seperti yang terajdi dalam sinetron-sinetron di tanah air. Semoga TIDAK ADA DUSTA DI ANTARA KITA.
Penikmat Kopi Hitam
Penjual Dan Pembeli
Ketika sedang asyik berjalan di salah satu pusat grosir di kota Bogor, mata saya tak henti-hentinya memandang sekeliling orang yang sedang berjualan menjajakan barang dagangnnya. Ada yang menarik-narik orang yang lewat atau merayu dengan suara yang lembut-lembutkan. Pemandangan ini bukanlah hal baru, sudah lumrah bagi kebanyakan orang yang sering berbelanja di sana, tapi jangan berpikir negatif mereka hanya menjajakan barang bukan harga diri.
Hal yang sering saya lakukan setiap hunting sesuatu atau hanya sekedar jalan-jalan adalah mengamati keadaaan di sekaliling saya, selalu ada saja hal yang menarik untuk dilihat. Seperti halnya para penjual dan pembeli yang sedang tawar menawar, meski sekilas tampak remeh tapi jika diamati peristiwa itu mempunyai sisi lain yang menarik untuk diamati.
Setiap penjual mempunyai jurus tersendiri untuk menarik orang-orang yang lewat, hal ini dilakukan agar barang dagangannya laris manis di borong pembeli. Persaingan semacam ini memang lumrah terjadi, maka tak heran jika satu sama lain bisa melakukan apa saja untuk menjatuhkan yang lainnya. Mulai dari diskon harga, promosi barang kualitas no 1 lah atau menebar isu yang bisa menjatuhkan rivalnya. Semua sah-sah saja selama tidak ada jotos-jotosan, semua dianggap persaingan sehat.
Perpolitikan Indonesia saat ini, ibarat penjual dan pembeli. Para capres dan cawapres yang didukung oleh tim pemenangannya masing-masing menjual janji-janji dan kontrak politik untuk lima tahun ke depan, demi sebuah kursi no 1 di Indonesia ini. Para pembeli adalah rakyat kecil yang bimbang untuk menjatuhkan pilihan hatinya dan membeli produk janji-janji yang diproduksi capres dan cawapres itu.
Tim pemenangan dari tiap-tiap calon, tak bedanya dengan para penjual di pusat-pusat grosir yang sibuk menjajakan janji-janjinya kepada rakyat dan bersedia membeli janji-janji itu dengan hak suara yang mereka miliki. Saling menjatuhkan, saling meneriakn jargon-jargon dan bahkan saling meng-klaim telah malakukan banyak hal untuk bangsa. inilah yang dilakukan para penjual itu agar-janji-janji yang diusungnya laris manis di borong masyarakat.
Semoga kita menuju Pasar yang sehat, yang di dalamnya tidak ada penjual yang menjatuhkan penjual lainnnya, persaingan dilakukan secara sehat, toh masyarakat akan menjatuhkan pilihannya kepada penjual yang dianggapnya jujur dan amanah. Semoga KITA TIDAK MEMBELI KUCING DALAM KARUNG.


Penikmat kopi hitam