Semalam saya menghabiskan waktu dengan ber-sms-an ria, sambil berbaring merebahkan tubuh yang sehari-hari dipaksa untuk terus bergerak tapi malam ini saya malas beraktivitas jadi saya putuskan untuk menghabiskan waktu hanya di dalam kamar. Salah seorang teman tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan kami, awalnya saya menanyakan jadwal kuliah esok hari tapi setelah beberapa pesan singkat hilir mudik di Hape saya, pesan itu berganti dengan rencana surprise party untuk sahabatnya yang berulang tahun. Saya sendiri tak tahu kapan persisnya ulang tahun itu dirayakan dan apa surprise party-nya, dan teman saya mengajak ngopi sambil-kongkow-kongkow esok harinya, saya meng-iyakan.

Saya mulai bosan ber-sms ria, masih sambil berbaring saya teringat isi pesan singkat teman saya, “ulang tahun & surprise party” dua hal yang tak pernah saya jumpai bahkan ketika saya sudah menginjak umur yang ke 21. Ulang tahun dan surprise party seolah menjadi barang antik dalam hidup saya, bahkan kalau dicari dalam kamus besar kehidupan saya dua kata itu sulit untuk ditemukan, meski banyak juga kosa kata lainnya yang tak terdapat dalam kamus hidup saya.

Bagi sebagian orang ulang tahun merupakan hal yang sakral, setiap tahunnya momen bertambah usia ini harus dirayakan sebagai bentuk evaluasi dalam hidup. Bertambahnya satu tahun, menjadi momen untuk resolisi, evaluasi dan target meraih impian. Ulang tahun menjadi tonggak estafet dari kehidupan sebelumnya, dan momen ini menjadi titik baru perjuangan anak manusia. tak semua sependapat dengan hal itu, bagi sebagian lagi ulang tahun hanyalah ritual tahuanan yang dilewati dengan senang-senang, makan-makan dan happy party, tak ada resolusi, evaluasi atau target dari impian untuk masa depan, semua hanya untuk melengkapi ritual tahunan yang tak boleh hilang begitu saja.

Dan samapi saat ini saya belum menjatuhkan pilihan kemana saya berlabuh dalam mazhab tersebut. Buat saya tak ada yang istimewa dari ulang tahun, saya sendiri heran sejak kapan asumsi ini lahir dan mengakar dalam otak saya. Sambil mengorek-ngorek kantong memori saya yang telah usang saya terus menggali apakah ada kata ulang tahun yang mampir di otak saya. Sejak kecil hingga sekarang ritual itu tak pernah saya rayakan, bahkan meski kami tiga bersaudara tak pernah ada niatan untuk saling mengucapkannya, ulang tahun seperti hal yang tabu dalam keluarga kami. Meski sempat beberapa kali saya hadir dalam ulang tahun teman, tapi tak ada niatan untuk merayakannya.

Ulang tahun pun kadang menjadi penting bagi sepasang anak manusia yang sedang menajlin asmara, tak heran jika mereka terkadang bersusah ria untuk membuat kejutan yang takkan pernah dilupakan oleh pasangannya, tapi lagi-lagi hal ini tak berlaku bagi saya. Sempat menjalin hubungan dengan beberapa wanita tak lantas membuat saya berpikit bahwa surprise party untuk pasangan menjadi hal yang utama, buat saya ulang tahun jadian lebih penting dari pada ulang tahun pasangan kita. Maka saya heran jika ada pasangan anak manusia yang bertengkar hanya karena lupa mengucapkan “selamat ulang tahun” untuk pasangannya bahkan ada yang sampai mengakhiri hubungannya, seberapa pentingkah ucapan itu untuk mereka????

Saya sendiri tak dapat menilai penting atau tidaknya bagi orang yang merayakan ulang tahun, buat saya resolusi, evaluasi dan target hidup haruslah menajdi agenda bulanan atau dwi mingguan sebagai bahan renungan hidup. Dan memberi hadiah atau surprise tak mesti menunggu ulang tahun karena saya percaya hati untuk memberi tak perlu menunggu momen tertentu hati itu lahir dan mengalir untuk terus memberi.

Masihkan Menunggu Ulang Tahun???



“Aku ingin pergi”

“Kemana?”

“Kamu tau, aku sudah lelah dengan semua ini”

“Bertahanlah, kita hanya butuh waktu untuk memperbaiki semua ini”

“Satu tahun, sudah lebih dari cukup aku menunggu tapi lelah itu tak dapat lagi kubendung dan aku menyerah”

“Apa artinya kita akan sendiri-sendiri?”

“Ya, sebaiknya kita memang tak lagi bersama”
“Maaf”

Kata itu mengantarkanmu pergi dari hidupku, pergi dalam dimensi waktu yang tak terduga. Waktu selalu menyimpan misteri di dalamnya tak ada yang bisa menebak, karena manusia hanya bisa menerka-nerka, mengkalkulasi kenyataan dan harapan tapi kita tak pernah benar-benar tahu, hanya menerka dan berharap. Dan aku menikmati titik-titik kumpulan kejutan ini, dan ketika cerita kita berakhir, itu kejutan yang tak pernah aku harapkan.

# # #

Aku menemukanmu sebagai sahabat beberapa tahun silam, menemukan sisi lain yang tak kutemukan pada orang kebanyakan, termasuk sahabatku. Bersamanya aku membagi dunia nyataku, bercerita tentang cinta, tantang kuliah dan segala tetek bengek kehidupan dan bersamamu aku berbagi dunia personalku, tentang gerimis dan bintang kecil di ufuk timur yang kuberi nama Surriya. Dua dunia yang berbeda dan kutemukan dalam wujud manusia yang berbeda pula.

Ada keanehan yang merasuk dalam jiwaku saat menikmati dunia sendiriku. Semua kosong dan hanya ada aku, semua tak mengerti karena aku sendiri tak mampu menerjemahkannya dalam bahasa manusia. Aku merasa ganjil tapi kamu menggenapkanku dan sejak itu aku percaya bahwa aku bukanlah satu-satunya makluk aneh di palanet bernama bumi. Aku tidak lagi menikmati dunia personalku tapi menggilainya. Kegilaan yang kamu transfer entah lewat mana dan cara apa yang pasti kegilaan itu menjadi ritual yang tak terlewatkan.

Aku mulai membagi diriku menjadi angka-angka persentase, dunia nyataku 70% dan dunia personalku 30%. Aneh memang kedengarannya tapi itulah hidup di ruang massal selalu saja ada tuntutan dan 70% cukup untuk memenuhi tuntutan itu. Tapi apakah hidup mampu dipersentasekan, dibagi menjadi dua kutub yang berbeda, aku sendiri tak yakin mungkin ini cara satu-satunya untuk meyakinkanku.

Persentase itu tak bertahan lama, pembagian 70:30 melorot tajam menjadi 50:50 jadilah aku penghuni tetap dalam dimensi kesendirianku, tuntutan tak menjadi alasan untuk mengilainya. Dan berubahnya angka-angka itu, berubah pula hubungan kita. Aku tak hanya menggilai dunia personalku tapi juga kamu. Kamu dan dunia itu sudah menjadi satu paket utuh, seperti membeli sebuah hadiah dan kamu menjadi kotak tampat hadiah itu bernaung.

Aku mulai menjadi bagian darimu, masuk dalam duniamu, pergaulanmu, berkenalan dengan sahabat-sahabatmu tapi tidak keluargamu. Kata terakhir adalah hal tabu yang dibicarakan setidaknya sejak kita memulainya sebagai sahabat hingga menjadi sepasang manusia aneh kamu selalu terhenti pada kata itu dan aku tak ingin masuk ke arah dimana kamu tak nyaman. Aku mulai memahami sekaligus menikmati terjun dalam dalam duniamu, dunia yang berbalik jauh dengan duniaku.

Beberapa bulan berjalan, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Lagi-lagi persentase itu tak bertahan lama, angka 50:50 kini berbanding terbalik menajadi 80:20 jadilah aku makhluk rasional yang mulai mencintai dunia nyata. Dan sejak itu pertengkaran kita dimulai, rentetan pertengkaran menghiasi hubungan kita.

Aku mulai menuntut dicintai secara nyata, dan kamu membiarkannya terus mengalir hingga semua bermuara. Sejak perkenalan kita aku tahu kamu akan selalu begitu, menikmati dunia dengan caramu sendiri meski aku juga tahu kamu mencoba berunah demi aku tapi perubahan itu terasa begitu lamban bahkan aku menganggapnya stagnan.

Aku lelah, dan aku tak melihat kamu bereaksi atau sekedar mencoba menahanku dengan semua alasan yang mungkin tak nyata. Tapi kamu terlalu naïf, membiarkan pasir yang ada di tanganmu tetap terbuka agar tak jatuh di sela-sela jemarimu tapi cinta juga harus dipegang kuat-kuat agar ia tak lari saat ia jenuh dan aku tak melihat itu dalam dirimu.

Dan kemarin adalah akhir.

















Apa artinya pelengkap. Ada yang beranggapan complement adalah polesan akhir dari kesempurnaan, tanpa adanya pelengkap itu maka ada sesuatu yang kurang. Sebagian yang lain beranggapan complement sesuai artinya hanyalah pelengkap ada dan tidak adanya, tidak mengurangi bobot sesuatu. Dan aku lebih menyukai definisi yang terakhir, karena aku hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

Apa yang kamu rasakan jika orang yang kamu anggap istimewa menganggapmu biasa. apa artinya tak ada dan menarikkah bayangan, lalu diperhitungkankah sebuah pelengkap, lagi-lagi semua pertanyaan merujuk padaku. Tapi aku hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

Menjadi complement tidaklah menyedihkan, kehadiranmu tidak akan dipertanyakan. Kamu bebas terbang kemana pun kamu suka. Menjadi bajingan, penjahat, atau pelacur, kamu tetaplah kosong dan tidak pernah ada. Karena Kamu hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

apa artinya keindahan tanpa keburukan, kebajikan tanpa bersanding dengan kejahatan, orang baik dan pelacur tanpa complement semua sama-samar, namun tetap saja aku hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

Sesampainya di rumah, saya langsung menyalakan televisi hal yang jarang sekali saya lakukan di sore hari. Biasanya saya masih beraktivitas di kampus entah itu ngopi bareng temen-temen atau menjalani kegiatan di organisasi. Malam selalu menemani langkah saya pulang ke rumah, enggan rasanya menghabiskan senja di rumah lembayung kekuningan itu lebih nikmat jika disantap bersama-sama teman dari pada menikmatinya dalam kotak bernama rumah. Tombol remote tv saya tekan berkali-kali mencari acara yang menarik untuk ditonton, setelah beberapa kali merubah channel tiba-tiba tangan saya berhenti pada salah satu program pencarian orang baik di Indonesia. Tujuannya mungkin untuk membuktikan bahwa untuk menjadi baik tidak harus kaya karena target dari acara ini adalah orang-orang yang tidak mampu dan terpenting untuk menunjukkan masih ada orang baik di muka bumi ini yang penuh dengan tindak kejahatan dimana-mana. Mungkin.
Acara itu menampilkan seorang nenek yang sedang menangis, mengadu pada orang-orang bahwa belanjaan yang telah ia beli diambil orang dan dengan kesedihan yang nampak dibuat-buat si nenek meminta bentuan kepada orang lain untuk membelikan belanjaannya yang dicuri tadi agar si nenek tidak dimarahi majikannya ketika pulang ke rumah. Disitu diperlihatkan sulitnya mencari orang yang mau membantu, berkali-kali si nenek ditolak dan pada akhirnya si nenek menemukan sang manusia baik hati yang mau membantunya, dibelikanlah si nenek belanjaan tersebut. Dan di akhir acara sang penolong tersebut diberi uang oleh tim program tersebut.
Melihat acara tersebut sontak membuat saya teringat pada kejadian beberapa bulan lalu. Saya teringat pada ibu-ibu penjual pecel, pecel ini bukan pecel lele tapi isinya sayur-sayuran seperti daun singkong, bayem, di tambah bakwan dan disiram dengan bumbu kacang yang pedas dan jadilah saya seorang vegetarian dadakan saat itu. Sambil melahap jajanan pengganjal perut itu saya berbincang-bincang santai dengan ibu penjual pecel itu, di situlah saya tau bahawa si ibu pecel itu yang lupa saya menanyakan namanya berjualan pecel sebelum saya lahir, tahun 80an tepatnya.
Spontan saya bergurau “Wah nggak punya duit nih bu, boleh minta nggak?”.
Si ibu pecel tadi langsung jawab “ kalo minta sih boleh mas”
“ Minta sih gratis tapi habis makan bayar, iya kan bu? Tanya saya
“Ya nggak lah mas, kalo minta seh saya kasih, tapi nggak banyak mas”
“Emang nggak takut rugi bu?
“Namanya saling tolong mas, dulu waktu pertama ke Jakarta juga saya kalo nggak punya duit ya minta mas”
Deg, hati saya saat itu seperti terkena bogemen cukup keras. Bagaimana mungkin si ibu penjual pecel itu rela memberikan pecel gratis di tengah keadaan ekonominya yang tak juga baik. Penghasilannya mungkin tak seberapa dari berjualan pecel, tapi kebaikannya mengajarkan saya satu hal bahwa menjadi baik tak harus menunggu kaya.
Saat itu saya menjadi yakin, masih banyak orang baik di bumi ini. Dan mudah-mudahan kita salah satu diantaranya.