Bagaimana tahun ini, sudah tercapaikan semua impian? Apa saja solusi yang harus disiapkan dari setiap kegagalan? Lalu bagaimana dengan rencana tahun depan? Apa saja yang ingin dicapai? Apakah ada rencana jangka panjang, untuk lima tahun atau sepuluh tahun kedepan?
Sederet pertanyaan di atas seolah menjadi bagian yang terpisahkan dalam kehidupan sebagian besar individu. Lalu bagaimana dengan saya? Saya tidak tahu. Dari dulu sampai sekarang saya tidak pernah bercita-cita menjadi apa. Terakhir, saya bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek lantaran takjub melihat gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi menghiasi layar televisi di rumah. Tapi itu sudah lama sekali, sepuluh tahun yang lalu, tepatnya ketika saya menginjak kelas enam sekolah dasar.
Saya juga belum mempunyai impian yang ingin dicapai, baik tahun ini, tahun depan atau tahun depannya lagi. Apa yang saya jalani, saya cuma menikmatinya. Bingung rasanya memilih satu dari sekian banyak kemungkinan yang ingin dicapai. Membiarkan takdir memilih jalan hidup saya pun kedengarannya aneh, bukankah manusia bebas memilih jalan hidupnya. Menentukan apa yang diinginkannya. Meski begitu, saya masih tetap bingung untuk memilih impian dan cita-cita saya.
Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya, apakah ini sebuah kecelakaan sejarah atau memang jatah saya. Bagaimana bisa saya tercemplung ke jurang jurusan komunikasi, sebuah bidang yang sama sekali tidak saya minati, tetapi dengan bodohnya menjadi pilihan pertama ketika mendaftar kuliah. Mungkin masalahnya bukan di “minat atau bukan minat”, tapi “mau atau tidak mau” melanjutkan kuliah. Dan saya mulai merasa yakin, selama ini saya menjalaninya dengan setengah hati.
Sempat beberapa kali saya mengutarakan keinginan kepada orang tua saya untuk mengundurkan diri dari bangku kuliah, saya merasa lelah untuk mengajak otak saya memikirkan tugas-tugas kuliah. Tetapi donatur tetap itu tetep kekeuh memaksa saya melanjutkan kuliah, dan saya memutuskan untuk melanjutkannya. Mendapati diri saya yang tidak bersemangat kuliah, saya mencoba menghibur diri sendiri dengan mencoba-coba ikut berorganisasi, dan hiburan itu sukses membawa saya hingga proses kelulusan. Organisasi membuat saya merasa betah berlama-lama menghabiskan waktu di kampus. Meski tidak hinggap sampai semester akhir, saya meyakini orgnisasi adalah salah satu alasan untuk tetap melanjutkan kuliah.
Siapa sangka hiburan itu membawa angin kejenuhan dalam diri saya. saya mulai bingung mensiasatinya, berhenti kuliah sekarang adalah hal terbodoh yang saya lakukan, begitu kata hati saya. tidak sebentar saya meyakinkan diri saya untuk mau menjalani aktivitas kuliah ini, dan saya tidak mau apa yang saya lakukan menjadi sia-sia. Mungkin saya butuh suasana baru, bekerja sepertinya menjadi alternatif yang cukup menarik. Bisa menghapus kejenuhan akan rutinitas sekaligus mendapat uang saku tambahan.
Tuhan selalu punya rencana yang tak diduga-duga, untuk kali ini saya amat mengamini keajaiban itu ada. Jam 09.00 pagi saya dibangunkan mama karena ada teman yang main ke rumah. Tidak biasa memang, jam segini teman-teman saya biasanya kuliah atau kerja. Dan yang lebih aneh lagi, dia seorang kawan yang tidak terlalu akrab. Saya lupa persisnya untuk apa dia main ke rumah, tapi ketika saya bilang ingin cari kerja dengan serta merta dia menawarkan sebuah pekerjaan di tempat dia bekerja. Tak pikir panjang saya langsung membuat surat lamaran, karna siangnya jadwal interview terakhir. Tanpa kesulitan sama sekali, saya mendapatkan pekerjaan itu, menjadi seorang pramuniaga di sebuah swalayan. Sungguh disayang saya tidak bertahan lama, selain jadwal kuliah yang sering bentrok, saya juga tak enak hati dengan rekan sif-sifan saya yang selalu mengalah jika jam kuliah pindah tiba-tiba.
Meski saya lulus di semester Sembilan, bukan lantaran saya bersemangat untuk bisa lulus cepat, tapi saya merasa tidak punya alasan lagi untuk lama-lama bertahan di kampus. Jauh-jauh hari saya sudah mengundurkan diri dari semua organisasi yang saya ikuti, mata kuliahpun sudah habis bahkan transkip semua mata kuliah sudah keluar nilainya. Sebenarnya bisa saja saya membiarkan beberapa mata kuliah gagal dan bisa mengulangnya semester depan, tapi mengulang adalah kegiatan yang paling membosankan dan saya memilih untuk tidak melakukan hal itu. Seandainya saya punya alasan yang cukup masuk akal, mungkin saya akan tetap memilih berlama-lama di kampus. Sampai bosan.
Ketika melihat teman-teman saya lulus dengan hanya menempuh 3,5 tahun, dengan prestasi akdemik cumlaude, saya tidak merasa iri apalagi sedih. Juga tidak merasa kecewa karena saya belum lulus dengan nilai yang cukup lumayan untuk ukuran pemalas seperti saya. Saya tidak pernah merasa bersaing dengan siapapun, apa yang saya peroleh sekarang bukanlah hasil dari perjalanan kemarin sore, melainkan akumulasi dari 3,5 tahun duduk di bangku kuliah. Buat saya inilah hasil dan inilah jatah saya.
Lalu mau apa setelah ini? setelah sidang skripsi kemarin, saya belum tahu mau berbuat apa. Buat saya sidang kemarin hanya kebahagiaan sesaat yang tidak layak untuk dirayakan. Saya merasa cepat atau lambat fase ini akan datang juga, jadi tidak ada kejutan dan bukan pula hal yang istimewa. Sidang kemarin meninggalkan PR yang lumayan banyak, revisi yang harus rampung karena jarak antara sidang dan wisuda masih satu bulan. Lagi-lagi saya belum berniat untuk mengerjakannya, saya hanya ingin menkmati momen-momen ini sambil menunggu beberapa hari menjelang hari raya idul fitri.
Bayangan akan masa depan mulai menggrogoti saya, setidaknya ketakutan-katakutan kerap kali mampir dalam celah hidup saya. Meski tidak setiap saat, tetapi ketika bayang itu hadir, saya merasa begitu banyak pertanyaan mulai membrondongi pikiran saya, pertanyaan yang sampai saat ini tidak mampu saya jawab. Welcome to the rill world, bagitulah sapaan yang kerap kali muncul setelah menamatkan pendidkan di bangku kuliah. Seolah ingin memberitahukan bahwa hari-hari kemarin hanyalah ilusi, sebuah simulasi untuk siap menghadapi kenyataan hidup.
Mungkin sudah saatnya saya menentukan pilihan, memilih satu dari sekian banyak pilihan yang ada di dunia ini. Dengan sadar, bahwa dengan memilih saya juga harus menyiapkan lobang kegagalan dimana saya akan terperosok kedalamnya. Setiap orang pernah tersandung dan terjatuh dalam hidupnya, kata seorang sahabat yang terus terngiang di telinga saya. Jangan tanya saya sekarang tentang pilihan itu, saya belum tahu. Mungkin nanti setelah saya dapat memilih, kalian akan menemukannya dalam cerita yang berbeda. Dan saya tidak tahu kapan.