Kalau hari ini kita masih bersama, bukan karena alasan yang kita pernah ucapkan beberapa tahun silam. Alasan kita begitu sederhana, kita tak pernah berani untuk sendiri, berjalan sendiri-sendiri, tanpa aku, kamu-kita. Rutinitas yang menahun seperti mendarah daging, dan kamu tahu bagaimana melepaskan darah dan daging yang sudah melekat dalam diri kita, menyakitkan bukan.
Aku lelah menjalani kepura-puraan ini, bukan kah sebaiknya ini kita akhiri. bukan kah rutinitas bisa kita mulai dari awal, dengan orang baru tentunya. Aku terlalu  lelah memulai dari awal dengan kamu,  kita hanya akan mengulang kesalahan yang sudah menahun dan itu melelahkan.
Kita selalu percaya, kesempatan hadir setiap saat dalam sebuah hubungan bukan saat kita sudah menjalani hidup masing-masing. Menahun sudah kita memberi kesempatan pada hati kita untuk mempertahankan hubungan ini, sudah waktunya dia berhenti. Ada beberapa hal yang bisa kita paksakan tapi ada beberapa hal yang harus dipasrahkan, sepertinya jalan kita yang kedua.
Kamu sudah menemukan orang yang tepat, bukan aku pastinya. Seseorang yang bisa membuatmu nyaman. Seseorang yang tidak akan melarangmu kemana pun kamu pergi. Seseorang yang bisa mewujudkan semua mimpi-mimpimu. Seseorang yang kamu beri tanpa harus meminta.
Dan itu yang terpenting, meminta itu melelahkan. Pada akhirnya aku harus sadar, selama ini yang kamu beri adalah hal ku pinta bukan sesuatu yang ingin kamu berikan. Menyedihkan. Aku tak ingin seperti ini, tak ingin selamanya meminta.
Sebaiknya kita berhenti berpura-pura. Apa kamu tak lelah bersandiwara. Bawalah dia, kenalkan dia padaku, dengan begitu kita resmi berakhir. Agar kita mampu melanjutkan kehidupan kita.
Segeralah.




Gw lupa kapan terakhir nyokap cerita tentang lo, rasanya udah lama banget. Sejak kita semua udah beranjak semakin gede, cerita tentang lo hampir nggak pernah lagi mampir lagi di telinga kita. Bukan karena nyokap lupa, gw berani bertaruh demi apa pun kalau mereka nggak pernah lupa sama lo tapi mungkin mereka ga ingin mengusik luka lama dan memendam sendiri kerinduan sama lo.

“Dia itu anak yang baik, kulitnya putih, bersih dan pinter banget. Dia selalu ikut kemana bapak pergi, maklum anak cowok pasti suka ikut sama bapaknya. Gimana ya si Ari kalau gede nanti”

Kata-kata itu yang sering banget gw denger dari nyokap kalau cerita tentang lo. Sumpah, gw penasaran banget pengen liat lo. Lo pergi saat gw masih kecil benget, gw ga inget apa-apa tentang lo. Satu-satunya yang menjadi penolong adalah foto lo sama teh Linda. Disitu lo pake kaca mata bokap jaman 70an. Sambil bawa pistol air, pakai baju kerah biru dan merangkul Linda. Cuma itu kenangan yang gw punya dan foto itu udah ilang beberapa tahun lalu sejak rumah kita rusak dan kita ngontrak untuk sementara waktu.

Nggak tau kenapa hari ini gw kangen banget sama lo, gak bisa ngebayangin kalau kita gede bareng. Umur kita yang terpaut cukup jauh, lima tahun. Nggak bisa ngebayangin kalau kita berantem, tuker-tukeran baju atau godain cewe bareng. Impian yang aneh ya Ri…hahaha

Gw nggak tahu gimana caranya bangkitin kenangan sama lo. Kalau lo denger, mampir ya Ri ke mimpi gw. Sekali aja. Cuma pengen tau gimana lo sekarang. Bahagia nggak lo disana.
Semoga lo bahagia Ri…


















Sewindu, menunggumu setiap pagi di depan pintu dengan senyum terbaikku. Semampuku membuat harimu bahagia, membuatmu memulai hari dengan ceria.

Sewindu, ku berharap ada disampingmu, melihat senyum pertamamu dengan wajah lusuh. Menemanimu setiap pagi, siang dan malammu.

Sewindu, aku di dekatmu dan menantimu, tak mungkin kau tak tahu bila ku menyimpan rasa yang kupendam sejak lama.

Namun suatu pagi, dia datang bak pangeran, menawarkan bualan harapan dan masa depan dan kau melupakan semua pagi, siang dan malam kita.

Sewindu, cukup. Tak akan ada lagi senyumku di pagi hari di depan pintu, tak akan lagi menemani pagi, siang dan malammu.

Cukup sewindu...

Inspired by Tulus-Sewindu