Kemarin kita duduk berhadapan, menghadap gelas masing-masing yang isinya sudah hampir habis. Aku dengan kopi hitamku dan kamu dengan hot chocolate-mu. Ada dua hal yang paling kamu sukai di dunia ini, satu es krim dan satunya lagi coklat. Bluebarry cheesecake adalah perpaduan yang tak bisa kamu pisahkan dengan hot chocolate-mu.

Tempat ini baru bagi kita, kamu yang pembosan selalu ingin mencoba hal baru termasuk memilih tempat makan dan minum.  Aku yang kaku, selalu memesan kopi hitam atau es Jeruk, begitu kontras kita.

“Coklatnya lumayan enak,” itu kalimat pertama yang kamu ucapkan setelah berbicara dengan pramusaji untuk memesan makanan dan minuman. Kalimat pertama setelah tiga puluh menit menikmati makanan kesukanmu dan keheningan kita. Aku hanya mengangguk, mendengar kata lumayan sudah cukup baik untukku. Kamu perfeksionis dalam segala hal, termasuk makanan.  Kata lumayan membuatku agak nyaman dengan malam ini. Artinya kamu tidak akan marah-marah dan meminta pindah tempat lain.

Kini kamu sibuk dengan Black Berrymu, hal pertama yang kamu lakukan adalah mengupload foto dan four square  melalui twitter dan face book tempatmu makan. Kamu sangat suka membagi hal kecil kepada orang lain dan membuat orang lain iri tentunya.

Setelah itu kamu akan mengecek Black Berry messenger mu, melihat pesan-pesan masuk. Sesekali kamu tertawa, begitu bahagianya aku melihatmu seperti itu. Kamu mulai sibuk membalas satu persatu pesan dari temanmu, yang entah siapa karena hingga hari ini aku tak mengenalnya. Hanya beberapa yang aku tahu selebihnya kamu menyimpannya rapat-rapat.

Sesekali aku menyeruput kopi hitamku, agak lama memang. Aku terbiasa menikmati kopi dengan lama, menyeruput adalah keasikan tersendiri bagiku. Sesekali aku melihat telepon genggamku, sepi. Ada beberapa pesan dan watsap yang masuk, aku acuhkan. Aku tak ingin sibuk dengan telepon genggamku saat bersamamu. Mereka bisa mengerti, bisa menunggu balasan dariku tapi aku tak rela mengganti waktu kebersamaan kita dengan membalas hal-hal di luar kita.

“Aku ke kamar kecil sebentar,” kataku memberitahumu agar tak kaget mendapatiku hilang di hadapanmu. Kamu hanya mengucapkan “iya”, begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Pandangan dan tanganmu begitu asyik bermain di papan ketik  hanponmu. Aku berlalu pergi pergi tanpa harus mengkonfirmasi lagi.

Kebiasaan burukku adalah tak bisa menahan buang air kecil, banyak minum dan sering kali mengeluarkannya. Kamu sering menuduhku lelet, bahkan sering kali mengatakan aku seperti perempuan. Aku tak peduli, aku tak ingin sakit karena menahan baung air kecil.

Aku kembali duduk di hadapanmu. Kamu sedikit kesal, “Mengapa nggak bilang kalau mau ke toilet”. itu kalimat keduamu, kalimat ‘iya’  yang kamu sebutkan tak perlu dihitung karena kamu merasa tak mengucapkannya. Hampir saja kamu meninggalkanku, untung ada  jaket kusamku yang sengaja aku sandarkan di kursi untuk mengingatkan bahwa aku masih di cafe ini, hanya ke toilet lalu kembali lagi.

Aku fikir kamu akan marah, ternyata tidak. Kamu kembali fokus pada BB mu, tertawa sendiri. Aku melirik selulerku yang sepi, bukan tak ada pesan masuk tapi sengaja aku silent agar tak mengganggu malam kita. Dua puluh menit berlalu sejak kalimat pertamamu kamu ucapkan, artinya sudah lima puluh menit kita habiskan di cafe ini.

Wajahmu kini menghadapku, menatap sekilas lalu mulai melirik kanan-kiri. Menyisir setiap sisi ruangan. Aku tak mengerti, hanya aneh melihat sikapmu. “Mana sih pelayannya,” gumammu. “Pesenin aku es krim dong, cepet ya kalau perlu kamu samperin langsung. pelayannya gak kliatan.” itu kalimat keempatmu.

Aku berjalan menuju meja kasir, memesan es krim stroberry kesukanmu. Sebenarnya bisa saja aku memanggil pramusaji, tapi aku malas berteriak lagi pula kasihan banyak tamu yang harus dilayani. Aku memutuskan untuk menghampiri kasir dan memesan langsung saja.

Butuh waktu lima menit hingga es krim itu mampir di atas meja. Lima menit yang  kamu habiskan hanya untuk mencari-cari charger portabelmu di dalam tasmu. Ketika melihat es krim itu aku berharap balok es di hadapan kita dapat mencair tapi  ternyata tidak, dia semakin membeku. Kamu memarahiku karena memesan es krim rasa stroberry padahal kamu ingin makan es krim rasa vanilla. Setahuku kamu sangat menyukai es krim rasa stroberry. “Tapi aku lagi ingin makan es krim rasa vanilla,” itu kalimat kelimamu.

Aku meminta maaf lalu berdiri untuk kembali ke kasir dan memesan es krim yang kamu pinta. “Gak usah, aku udah gak kepengen lagi,” kalimat ketujuhmu. Kamu mulai menyantap es krim itu dengan muka cemberut, aku merasa bersalah karenanya. Tak kurang dari lima menit es krim itu kandas dari mengkuknya. Lima menit yang mengakumulasi menjadi enam puluh menit kebersamaan kita.

Lalu kamu berdiri, berbegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tumpahan es krim yang jatuh di bajumu. Membawa tissu basah agar wajahmu tetap steril dari kotoran. Aku menenggak habis kopiku, sudah dingin ternyata. Tempat berpendingin udara membuat kopi lebih cepat dingin.

Aku mulai mengatur strategi, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan. Aku tak mau salah, sekali salah kesempatan untuk mengobrol akan hilang begitu saja. Akhirnya aku menemukan kata yang tepat, ku tunggu sampai dia  kembali dari toilet.

Sepuluh menit dia menghabiskan waktu di dalam kamar kecil, merapihkan bajunya yang sedikit berantakan. Mulutku sudah siap-siap berucap sampai akhirnya dia duduk kembali dan mengeluarkan BB nya. Satu menit berlalu, tujuh puluh satu menit berlalu sudah. Aku tak tahan lagi, “Bisakah kita singkirkan sejenak kesibukan kita dan mulai mengobrol, Aku butuh itu,” kataku memulai pembicaraan. Kamu menatapku, lalu berdiri “Aku capek kerja seharian, ngantuk dan mau pulang,” kalimat kedepalanmu dan menutup malam ini dengan sia-sia.

Aku mengambil jaket dan berbegas menuju kasir untuk membayar. Di parkiran, aku memberikan helm kesayanganmu sambil berharap bisa mengobrol di perjalanan pulang nanti. Kamu menolak. “Nggak usah, aku pulang bareng temenku udah janji soalnya,” kalimat kesembilan yang begitu menusuk. Aku terdiam lalu pergi meninggalkanmu dengan luka.