“Aku mencintai kamu yang di masa lalu dan (mungkin) di masa depan. Masa sekarang adalah masa perhentian. Masa untuk tidak mencintaimu. Mari kita menikmatinya. ” - poeticonnie.tumblr.com-

“Saat ini, Aku menyerahkan semuanya pada tuhan. Jika memang aku harus ditinggalkan, buat aku mungkin itu yang terbaik. Yang pasti saat ini prioritas hidup aku adalah kerja, kuliah, keluarga dan sahabat. Bukan aku tidak ingin menjalani suatu hubungan tapi saat ini itu lah yang menjadi prioritas hidupku,” Itu kalimat pembuka darimu pada perjumpaan pertama kita setelah dua minggu kita memutuskan untuk rehat dari hubungan ini.

Aku hanya tersenyum dan berpikir bahwa semua ini hanyalah metafora. Lalu kita mulai melanjutkan obrolan, semua seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kita memang bukan pasangan yang sering membahas masalah yang lalu, kita mengnggapnya impas ketika kembali bertatap muka.

Seminggu berlalu, aku merasakan ada ganjil. Semua tak sama, tak seperti pertengkaran-pertengkaran lalu  yang berakhir dengan canda. Kita seperti balok es, masih kah nikmat sebuah hubungan yang begitu dingin.
Hampir tiap malam aku berpikir, menganalisis dan mencari jawaban dari permasalahan kita. hingga kemarin aku mengajakmu bertemu di sela waktu kuliahmu.

“Kamu bilang, saat ini yang terpenting adalah kuliah, kerja, keluarga dan sahabat. Awalnya aku berpikir bahwa itu hanyalah kiasan tapi setelah menjalani satu minggu kemarin, aku sadar kalimat itu jawaban semua dari hubungan ini.

Saat kamu mengatakan itu, aku terlalu ego, berpikir bahwa semua bisa kita selesaikan dan kembali melanjutkan hubungan yang sudah kita upayakan  susah payah satu tahun  belakangan ini. Aku berpikir bahwa ini hanya sementara, dan kita mampu melaluinya seperti biasa.

Aku berpikir kita mampu membangun sebuah benteng yang tebal untuk melapisi hubungan ini. Tapi aku lupa, bahwa terlalu banyak lobang yang harus ditambal. Sedangkan kamu sedang membangun benteng-benteng pertahananmu dengan kelaurga dan sahabatmu. Aku tak mungkin membangunnya seorang diri. Aku terlalu lemah.

Aku berpikir bahwa mempertahankan hubungan ini adalah keinginan kita berdua. Aku tak pernah melihat ke dalam hatimu yang ingin bebas dan lepas. Aku terlalu ego untuk mengakui bahwa hubungan ini sudah tak sehat lagi untuk diperjuangkan.

Aku seharunya melakukan hal ini sejak lama. Dulu aku pernah berjanji membahagiakanmu dengan caraku sendiri, mungkin ini lah caraku membahagiakanmu. Melepaskanmu.”
  
*Semoga kamu selalu bahagia puteri

Hari ini aku datang ke rumahmu, hal yang aneh memang berkunjung ke rumahmu pada hari sabtu. Kita tidak seperti pasangan lainnya yang menghabiskan waktu sabtu dan minggu. Sabtu dan minggu adalah harimu bersama sahabat dan keluarga. Sedangkan kita mencuri waktu di sela kegiatan kita yang padat. Tapi semua itu cukup.

“Loh kamu ngapain ke sini? Aku mau jalan sama temenku,” tanyamu melihat wajahku muncul di depan rumah.

“Aku hanya waktu lima menit, setelah itu aku akan pergi dan kamu bebas jalan dengan temanmu”

Kamu membukakan pintu tapi aku menolak. Cukup di teras saja, toh aku hanya punya waktu lima menit. Sebelum berbicara aku jelaskan padanya bahwa aku tak ingin pembicaraanku dipotong sebelum selesai. Aku ingin memanfaatkan waktu lima menitku secara utuh. Setelah itu kamu bebas berkomentar atau pergi. Itu hakmu. Dan kamu mengiyakan permintaanku.

“Sepuluh bulan yang lalu aku menemukanmu dalam keadaan terluka dengan sebelah sayap yang patah. Awalnya aku hanya simpati tapi entah kenapa, aku tiba-tiba aku ingin mengobati. Mendapatimu terluka karena seseorang dan bayangan masa lalu yang tak bisa kau hempaskan.  Aku memutuskan untuk membantumu membalut dan mengobati (hati)mu yang patah.

Perlahan kamu mulai bisa bangkit, tapi setumpuk persoalan melanda. Banyak yang mengucilkan dan merendahkanmu. Kamu hampir terjatuh lagi, tapi aku selalu berdiri di belakang, memastikan keadanmu baik-baik saja dan siap memapahmu ketika terjatuh. Kamu melaluinya dengan baik, sedikit terseok-seok tapi akhirnya bisa berjalan dengan mulus.

Kini lukamu telah pulih. Kamu sudah sembuh dari luka masa lalumu. Kamu telah menemukan sahabat yang selalu ada untukmu. Kamu sudah menemukan tempat yang aman dan nyaman untuk bercerita. Sudah saatnya aku pergi. Bersisian denganmu bukanlah takdirku.

Aku hanyalah perantara, yang hadir saat kau luka dan pergi saat kau kembali ceria. Aku hanya perantara, yang mengantarkanmu menuju jalan kebahagian dan bukan menemanimu melaluinya. Aku hanya perantara, temukanlah takdirmu. Berikalah warna terang padanya, jangan abu-abu. Kamu layak mendapatkannya"

Bunyi klakson mengisyaratkan kata cukup.  Temanmu telah menunggu, berikanlah dia warna terang, jangan abu-abu.