Barangkali, yang kita takutkan bukan sebuah kematian, melainkan kehilangan cinta. Sehingga hati tidak lagi ingin memilih, cukup satu dan selamanya seperti itu.

Aku masih membayangkan kita duduk berdua di tepi pantai, di sebuah pulau terpencil yang hanya dihuni beberapa keluarga. Aku membayangkan kita sedang duduk menghadap senja, melihat matahari memantulkan kilauan emasnya ke  laut sore . Aku membayangkan ada seseorang yang baik hati mengabadikan potret kita, sebuah siluet sepasang kekasih saling menggengam tangan, dan kamu merebahkan kepalamu  bersandar di bahuku.

Aku membayangkan kamu terpejam, mendengarkan suara ombak. Tanganmu sesekali naik turun mengikuti irama merdu suara ombak. Aku membayangkan kamu berlari kecil di pinggir pantai, menuliskan nama kita, membiarkan anak-anak ombak menghapusnya. Dengan sabar kamu kembali menuliskannya, tanpa lelah dan  memandangku dengan tersenyum.

Aku membayangkan kamu setia  di belakangku, menemani setiap sujud dan mengamini setiap doa yang kulapalkan untuk kita berdua. Kamu mencolek punggungku, meminta tanganku untuk kamu cium. Aku menariknya, bukan tak suka, hanya ingin memuliakan kamu, dimana kakimu merupakan pintu surga untuk anak-anakku, anak kita.

Aku membayangkan kamu membukakan pintu untukku saat pulang. Dengan calon malaikat kita yang  ada di perutmu, kamu tetap tersenyum dan  tak mengeluh sedikit pun. Aku membayangkan, di malam-malam yang dingin, kamu menungguku membuatkan susu untukmu. Menyelimuti setiap jengkal tubuhmu yang kedinginan dan menunggumu hingga terlelap.

Aku membayangkan kamu menahan sakit saat melahirkan anak pertama kita. Di tengah malam yang sepi, saat tak lagi kendaraan banyak lalu lalang, aku mencoba memapahmu mencari kendaraan sewaan. Kamu memegang erat tanganku, “kita naik motor saja ya, katamu pelan dan tak mengeluh sedikit pun. aku menangis dan mengatakan, meski kita tak punya apa-apa, tapi aku menjanjikan segalanya untukmu. Kamu terdiam dan menitikkan air mata.

Aku membayangkan malaikat kecil kita belajar berjalan. Kaki-kakinya yang kecil sesekali terjatuh tak kuat menahan berat bebannya sendiri. Aku membayangkan, saat dia mulai berlari dan terjatuh, kamu selalu ada di sampingnya. Mengobati lukannya dan menenangkannya.

Aku membayangkan mengantar anak kita ke sekolah dan kamu menjemputnya seusai dia belajar di sana. Mendampingi hari-harinya, membagi seluruh waktumu hanya untuknya. 

Aku membayangkan kita berdiri di sisi pelaminan anak-anak kita, mengantarkannya menuju sebuah rumah baru, melahirkan malaikat-malaikat kecil yang kelak kita panggil cucu. Aku membayangkan kita melepas mereka dengan bangga, setelah mendampingi hampir separuh hidup kita.

Aku membayangkan kita membangun rumah di sebuah pulau terpencil, rumah mungil yang kita persipakan untuk hari tua. Rumah sederhana dengan halaman yang luas, tempat kamu menanam bunga dan menghabiskan waktu membaca dan menulis di sebuah saung. Tempat kamu mengajak cucu-cucu kita bermain dan berlarian. Tempatku mengajak mereka bermain bola, menggantikan momen yang tak sempat kita lakukan bersama anak-anak kita karena halaman rumah kita yang sempit. 

Aku membayangkan semua bersama kamu, seseorang yang telah pergi sebelum kita mewujudkannya.

*sambil dengar ini:
sambil dengarin ini:


Terkadang, di saat kita jatuh kita menginginkan kesendirian. Menikmati setiap luka, menangis, marah, tertawa, hingga lelah dan tertidur. Mungkin kita menginginkan sebuah pantai, deru ombak di malam sunyi dan temaram lampu penerang yang hampir redup.

Mungkin kita ingin duduk di sudut kamar gelap, di sebuah apartemen lantai teratas. Membuka  jendela, melongokkan kepala ke  bawah, bahkan mungkin ingin menerjunkannya. Membiarkan tubuh perlahan menyentuh tanah. Menikmati hembusan angin memutar di sekujur tubuh, berbicara dengan halus dan  memaksa bibir tetep tersenyum menjumput kematian.

Mungkin kita ingin duduk manis di pinggir sebuah jurang, hempasan sedikit saja membuat tubuh kita terjatuh. Begitu halus, hingga tak sadar kita sedang bersentuhan dengan kematian.

Mungkin kita hanya menginginkan segelas kopi hitam, dua gelas, tiga gelas, mungkin lebih dari itu. cukup itu…

“Kalau kamu suka seseorang, perjuangin dia. Kasih tau dia, bahwa di luar sana ada orang yang begitu mencintai dia,” katamu sore itu. Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Pernah kah kamu mencintai seseorang, saking cintanya hingga takut memilikinya. Maka itu yang aku rasakan saat ini. Aku begitu mencintai kamu, hingga takut tak bisa membahagiakan kamu. Aku ingin kamu bahagia dan aku merasa tak tepat untukmu, merasa tak mampu membahagiakanmu.

“Mungkin sebaiknya aku cinta sendiri, dengan begitu aku tak akan menyakiti siapa pun,” kataku kepadamu setengah berbisik.

Kamu memegeng erat tanganku, sambil menatap,  kamu mengatakan tak baik menyimpan hati untuk seseorang. Barangkali dia jodoh yang selama ini kamu nanti. “Kalau kamu takut terus, kapan kamu belajar mencintai seseorang. Sekuat apa pun kamu berusaha membahagiakan dia, toh versi bahagiamu dengan dia berbeda. Artinya kamu tidak akan selalu bisa membahagiakan dia. Bilang yah,” katamu pelan sambil melepaskan tanganku.

***

Satu tahun sudah sejak obrolan sore itu dan sudah satu tahun kita menjalani hubungan ini. firasatku benar, aku tak mampu mebahagiakanmu. Firasatku benar, hubungan ini hanya menyakitimu. Kini kamu menyesal telah meyakinkan perasaaanku. Kamu menyesal telah memintaku menyatakan perasaanku terhadapmu. Kini kamu menyesal dan menarik diri.

Andai waktu bisa kembali, aku meminta untuk cinta sendiri. Cukup sendiri.




Aku menaruhnya di sudut kelam hati
Meletaknnya di dalam kotak hitam masa lalu
Menguncinya rapat-rapat agar ia tak mencuat ke permukaan

Tapi kini ia terbangun,
Mungkin memang tak pernah tertidur.
Kini, aku berhdapan dengannya
Mempertanyakan masa lalu yang pernah lewat, memaksanya menjawab luka yang ia buat

Tapi, ia diam seribu bahasa
Tatapannya nanar, aku begitu kasihan melihatnya.
Bukan...bukan, ia begitu kasihan padaku.
Bertahun-tahun berusaha mengubur kenangan, tapi malah terjerembab di dalamnya.

kini ia terbangun, atau memang tak pernah tidur.

Sepertinya, lebih banyak yang bisa kita bagi saat kita berjarak. Meski tak menutup kemungkinan banyak rahasia yang tersembunyi di baliknya.

30 Desember, satu hari menjelang sebuah pertemuan. Satu hari  hari yang begitu lama. Satu hari yang mewujud tiga tahun penantian, membuka lembar-lembar kalender hari yang penuh dengan coretan harapan dan mimpi. Merobeknya,  saat hati terasa begitu penuh dengan keinginan tapi tak mewujud dalam kenyataan.

Kini tinggal satu hari menjelang akhir tahun, satu hari dari rangkaian tiga tahun perpisahan kita. Saatnya merayakan sebuah pertemuan dan melepaskan sebuah perpisahan. Terlalu banyak kita berhutang pada jasa provider telepon seluler. Berapa banyak waktu yang kita habiskan demi mendengarkan cerita lewat suara. Dan berapa banyak kekecewaan yang hadir saat sinyal menggangunya. Mari kita melepaskannya.

Kita mungkin lupa berapa banyak kita menumpahkan keluh kesah melalui media sosial dan surat elektronik, tiga tahun bukan waktu yang singkat dalam sebuah penantian. Selalu indah, tidak. Sering kali kita bertengkar di dalamnya, membagi amarah di jejaring sosial. Saat itu, betapa kita lupa bahwa pertengkaran kita menjadi konsumsi banyak orang. Mari kita melepaskannya.

Bagaimana dengan pak Ahmad, tukang pos yang rajin  ke rumahmu. Sepertinya dia akan berhenti mengirimkan surat-suratku kepadamu. Motor tuanya tak akan lagi kamu dengar berhenti di depan rumahmu. Kita pernah menitipkan rindu dalam puluhan lembar kertas yang kita tulis melalui jemari tangan. Mari kita melepaskannya.

Begitu banyak yang kita bagi, tapi tahu kah kamu begitu banyak rahasia yang kusimpan sendiri.

Mungkin kamu tak pernah tahu, betapa sering aku marah saat kamu tak mengangkat teleponku, membalas pesan singkat dariku dan surat elektronik yang rutin kukirimkan kepadamu. Begitu kesal saat tukang pos tak juga menyampaikan surat balasan darimu.

Mungkin kamu tak pernah tahu, begitu banyak rencana  yang aku tuliskan dalam buku  agendaku. Yang pada akhirnya kurobek karna waktu tak juga memberi kita kesempatan untuk bertemu.

Mungkin kamu tak pernah tahu, saat seluruh hatiku penuh dengan rindu, aku hanya bisa menangis sambil melapalkan doa untukmu. Terkadang doa adalah obat mujarab saat rindu tak jua menemukan pasangannya.

Esok, ketika kita bertemu akan kuceritakan semua rahasiaku kepadamu. Saat ini, marilah kita rayakan pertemuan dan melepaskan perpisahan.

*Your Call-Secondhand Serenade





“Semuanya sudah berakhir”. Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirmu setelah setengah jam berlalu tanpa kata. Tanganmu masih memutar-mutar cangkir yang isinya telah berpindah ke tubuhmu. Cangkir kosong itu kini menjadi kiblatmu, matamu tak lepas darinya. Tidak menoleh ke kanan, kiri atau belakang, menatap ke depan tak mungkin kamu lakukan, ada aku di situ. Matamu tak akan pernah mau menatapku, bahkan sedetik pun tidak.
Banyak hal yang membuat kita tertunduk, takut dan tak siap menghadapi kenyataan. Kita tak ingin memulai apalagi mengakhiri. Kalau memang diam membuat kita lebih banyak bersama, sebaiknya kita larut dalam diam. Tak perlu lagi kata, kebersamaan adalah obat mujarab dari hubungan kita.
Tapi hidup tak stagnan pada satu dimensi, ia dinamis. Ia mengharapkan waktu terus berjalan dan kita harus bergerak. Entah pahit atau manis itu konsekuensi logis dari hidup. Tak ada yang manis-manis saja, tak ada yang mudah-mudah saja. Perjalanan ini tetap harus berlanjut, kata ini harus disambung. Entah bagaimana akhirnya, hanya tuhan yang tahu.
“Ya, sudah berakhir rupanya,” begitu saja kalimat itu meluncur dari bibirku. Ingin aku menarik kembali kata-kata itu dan membenamkannya di dasar laut, tapi tak mungkin, kalimat itu telah keluar dan memang sebaiknya keluar. Tatapanku kini tertuju pada cangkir kopi, isinya telah berkurang setengah. Mataku tak lagi memperhatikanmu, terlalu lelah menunggumu mengangkat kepala dan tersenyum manis seperti biasa.
“Kenapa tuhan menciptakan kita berbeda-beda kalau dia hanya ingin disembah dengan satu cara. Kenapa kita harus terjebak dengan identitas, melabelkan tuhan dengan satu nama. Bukankah agama representasi dari keyakinan personal, bukan sebuah keyakinan yang dipaksakan”. Suaramu meninggi, tatapanmu nanar, ada setitik air yang merembes di sana. Matamu menyala, tak pernah kulihat kamu semarah itu, tak pernah ketika menatapku.
Kudekap tubuhmu yang masih berdiri kaku menahan marah. “Kenapa semua harus berakhir hanya karna perbedaan. Bukankah tuhan itu satu, lantas mengapa jika kita berbeda”. Kalimat demi kalimat terus mengalir dari bibirmu, suaramu tak selantang tadi, seperti berbisik, seperti angin.
“Karna itu tuhan menciptakan cinta, agar kita bisa bersama meski kita berbeda,” bisikkku sambil membelai lembut rambutmu.
“Masukkan saja aku ke agamamu, dengan begitu kita tak perlu mengakhiri hubungan ini”. Kalimat itu seperti silet yang menyayat-nyayat hatiku, perih sekali mendengarnya.
“Bagaimana bisa aku percaya pada orang yang telah mengkhianati tuhannya yang disembah dengan segenap jiwa dan raganya”, kataku sambil merenggangkan pelukanku kepadamu. Nafasmu sudah teratur, tubuhmu sudah tak kaku lagi, amarah itu sudah berkurang. Kamu berkata seolah kita sedang menukar sebungkus mie instan dengan keyakinan, menggadaikan hal paling dasar untuk sebuah cinta. Cinta itu melengkapi bukan meniadakan.
“Jadi kita kembali sendiri-sendiri,” tanyamu minta kepastian.
“Dari awal kita menjalin hubungan ini, kita sudah tahu saat-saat seperti akan tiba. Cepat atau lambat hanya tuhan yang tahu. Jika memang harus sekarang, memang sudah saatnya, sudah waktunya. Inilah jatah hidup kita. Kita bisa saja menjalani semuanya tanpa harus memaksa salah satu dari kita mengikuti agama aku atau kamu, tapi bukankah kita tak ingin menjalani hidup ini tanpa restu dari keluarga kita. Jika kita percaya hidup ini adalah anugerah dan setiap detik adalah hadiah, maka dua tahun bersamamu aku mengamini itu. Bersamamu adalah anugerah dan hadiah terindah yang tuhan berikan kepadaku.
“Huh, sebaiknya sampai di sini. Tapi malam ini aku ingin menghabiskannya bersamamu, menikmati sepotong kue kuning yang menggantung di langit. Sepotong cahaya di hamparan pekatnya malam, terlalu pekat hingga garis langit dan bumi tak terlihat. Aku ingin menikmatinya berdua, sampai cahaya kemerahan datang menjemput, aku akan pergi bersamanya”.
Ritual ini sudah dimulai rupanya. Tanpa pikir panjang, aku mengambil karpet dan selimut di kamar. Malam ini akan jadi ritual terakhir untuk kita, rutinitas yang kerap kamu tagih jika kue kuning itu berbentuk sabit. Kamu selalu mengkhayalkan dapat menggantung disana, memancing bintang-bintang yang berkeliaran di langit pekat. Sinarnya yang lembut menghangatkan tubuhmu dan menerangi kegalauan hatimu. Jika bintang jatuh, kamu berharap dapat mengambilnya dengan jaring yang kamu siapkan di kantongmu. Jaring yang sama, jaring yang digunakan nelayan untuk mencari ikan. Dengan memejamkan mata kamu membuat satu harapan, harapan yang sama sejak dua tahun lalu. Harapan agar kita selalu bersama. Begitulah ritual yang kamu maksudkan.
Beralaskan karpet dan selimut hangat kita mulai melahap kue kuning yang tinggal sepotong itu. Udara dingin membuat tubuh kita bersentuhan, tanpa jarak, tanpa spasi. Bahuku selalu menjadi sandaran kepalamu, sandaran paling nyaman di dunia menurut versimu. Tangan kita saling menggenggam, tak ingin terlepas meski hanya untuk sesaat. Walau kita tahu esok pagi genggaman ini harus lepas. Tapi Inilah hadiah, inilah anugerah dan inilah jatah hidup kita.