Saya pikir melepaskan seseorang yang kita sayangi pergi dan menemukan kebahagiaanya bersama orang lain adalah sulit. Kita tak pernah benar-benar bisa mengikhlaskannya, bahkan mungkin tertawa saat dia terluka.

Dia meninggalkan saya dua kali. Pertama, dia gagal. Seseorang yang dipilihnya hanya memberikan harapan palsu dan kembali ke sisi mantannya. Dia pun kembali kepada saya, saya memaafkan, bukan kah hati layak memberi kesempatan kedua. Tak lama berselang, dia memilih orang lain. Seseorang yang saya sering dengar namanya, seseorang yang dia anggap anak kecil tetapi mampu memikat hatinya. Untuk yang kedua, dia sukses dan kini dia bahagia bersamanya. Saya tentu saja ditanggalkan lalu ditinggalkan.

Untuk satu hal di atas, saya salah. Bukan merasa seperti malaikat yang tak memiliki rasa sakit, saya sakit hati, kecewa, bahkan patah hati. Namun tak pernah sekali pun saya mengharapkan keburukan atasnya, bahkan saya pernah berjanji untuk selalu mendoakannya, hingga hari ini doa itu tak pernah terputus.

Kesadaran kecil itu bertumbuh. Melihat dia bahagia bersama orang yang dipilihnya, saya bahagia. Saya pikir keputusannya meninggalkan saya untuk orang lain adalah pilihan yang tepat. Seseorang yang saat ini menjadi kekasihnya mampu membahagiakan dia, sesuatu yang tidak pernah bisa saya berikan. Saya bersyukur, tuhan sayang padanya. Tuhan mencabut rasa sayangnya untuk saya dan memberikannya pada orang yang pantas.

Mungkin dia dan orang-orang yang di sekeliling kita (yang mengetahui hubungan ini) menganggap saya egois. Tak ingin menjalin hubungan baik dengan dia. Saya hanya ingin menarik diri, tak ingin menganggu hubungannya. Saya tak ingin masuk dan merusak hubungannya.  Bahkan, setelah hubungaan yang berakhir melalui pesan singkat ini, saya tak pernah lagi melihat twitter, blogg dan tumblr-nya. Saya tak ingin mencampuri kehidupannya. Meski begitu, saya selalu menyiapkan diri untuk membantunya, mungkin tak sekeras dulu tetapi saya tak pernah tega melihatnya berada dalam kesulitan.

Kembali? bukan. Ini bukan soal kembali dan mengharapkan.  Tetapi ini cara saya belajar memafkan. Memafkan dia dan memaafkan diri saya tak bisa membahagikan dia dan mempertahankan hubungan ini. Saya belajar memafkan dengan mendoakan.

Dia mengirimkan pesan singkat yang isinya permintaan maaf. Buat saya, itu semua tak perlu. Saya sudah memafkannya sejak jauh hari dan buat saya melihat dia bahagia bersama pasangan barunya adalah maaf yang sebenarnya. Mungkin saya sedih jika melihatnya tidak bahagia tetapi saya bersyukur dia bahagia sekarang.

Ini pesan singkat saya untuknya:

sudah ya, gak perlu lagi membahas masa lalu.
aku bersyukur kalau sekarang kamu bahagia. bersyukur kalau seseorang yang kamu pilih bisa membahagiakan kamu. sesuatu yang tidak pernah bisa aku kasih buat kamu dan artinya keputusanmu meninggalkan aku adalah pilihan yang tepat.
aku berterima kasih pernah diberi kesempatan mencintai kamu. semoga kamu selalu bahagia. semoga kamu langgeng sama dia. (23:02/28,12,12)






Kamu duduk di bangku taman menghadap air mancur yang hampir mati. Tepat di bawah pohon besar dan lampu taman yang  enggan hidup . Tenaganya sudah redup dan tak ada seorang pun yang menginginkannya terus hidup. Taman yang hampir mati dan kamu menikmati sambil berharap mati di sana. Sepi. Ya, kamu menginginkan sepi setelah sekian banyak keramaian yang kamu lalui. Ternyata kamu membutuhkan sepi, sebuah kata yang kamu coret hitam dalam hidupmu.

Aku duduk di sebelah kananmu. Entah kegilaan apa yang membuatmu selalu memilih duduk di sebelah kiri. Yang aku tahu, kamu menggilai pelukan. Dan kamu menikmati pelukan dari seseorang yang duduk di sebelah kananmu. Kamu merasa senang  menyandarkan bahu di sebelah kirinya, memeluknya erat-erat lalu menghabiskannya.

Aku menyulut rokok, menghembuskannya pelan. Tiba-tiba kamu mendekat, meminta sebuah pelukan. Aku menolak halus dan kamu mengerti. Kamu mengatakan butuh pelukan, sudah lama dia hilang darimu. Kamu mencarinya kemana-mana, ke semua sudut, bahkan ingin memebelinya. Tapi tak ada seorang pun yang memberinya bahkan menjualnya.

Kamu mulai mencari sisa-sisa yang tersebar di lemarimu. Remah-remah peluk menempel di bajumu. Kamu memeluknya lalu menghirupnya. Semua baju kamu kumpulkan, mengumpulkannya menjadi satu agar pelukan itu utuh namun tak juga mengutuh.

Kamu mulai mendatangi satu persatu orang-orang yang dulu pernah memujamu. Orang-orang yang selalu kamu anggap sampah dan menerimamu kapan saja kamu mau. Orang yang dengan senang hati memberikan rasa sakitnya untuk melihatmu bahagia. Tapi kamu pulang dengan tangan kosong. Mereka tak lagi memujamu bahkan mencemohmu. Yang kamu dapatkan hanyalah cercaaan.

Malam ini kamu memintaku datang, meminta sebuah peluk yang dulu kamu acuhkan. Kamu meminta sebuah, padahal dulu aku memberimu seluruhnya. Aku katakan tak lagi memilikinya. Aku sudah  memberikan seluruhnya pada kekasihku. Dan aku menyimpan peluknya di tubuhku.  

“Belajar lah membeberi pelukan pada seseorang, meski dia tak selalu memberi balasan. Saat kamu butuh, akan ada seseorang yang memberimu tanpa meminta balasan,” kataku sambil pergi meninggalkan dirimu yang terus menatap air mancur yang hampir mati.







 Satu tahun aku mengumpulkannya. Kamu tahu, bukan perkara sulit untukku merangkainya menjadi satu. Setiap kali serpihan-serpihan itu hadir, aku menyimpannya. Menuliskannya kembali dalam lembaran-lembaran kertas warna-warni. Tak ada spesifikasi warna dan warna tak mewakili apa yang tertulis di dalamnya.
Aku tak tahu berapa jumlah pastinya. Seperti kukatakan sebelumnya, jika serpihan itu hadir aku menulisnya. Tak pernah sehari pun aku melewatkannya. Ada masa di mana aku menulis puluhan kali dalam sehari. Tetapi ada masa di mana aku hanya menulis sekali, lalu berdoa dan menangis. Kalau kamu nanti melihatnya dan mungkin membacanya, percayalah, itu tak sebanding dengan doa yang mengalir dari bibirku.
Aku tak pernah yakin bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan seseorang. Bagaimana pun, kecanggihan teknologi seperti telepon genggam dan media sosial hanya membuat kita merasa dekat. Tidak benar-benar dekat. Tapi itu semua terbantahkan ketika bertemu denganmu. Untuk pertama kalinya aku yakin bisa menjalaninya denganmu.
Ketika kamu mengatakan mendapat penempatan kerja di  Aceh, aku diam. Menggenggam tanganmu erat dan tersenyum. Aku selalu ingat kata-katamu, perjalanan yang berliku ini akan menghadiahkan sesuatu yang tak terduga dan semua akan indah pada waktunya.
Hari ini aku akan menjemputmu di bandara. Membawa kertas warna-warni yang berisikan coretan tiap kali aku merindukanmu. Sekotak rindu yang kurangkum setahun penantian ini.  Pecayalah, ini bukan apa-apa. Banyak hal yang tidak bisa diucapkan dan dituliskan. Kamu tahu itu.


Sudah satu jam aku berbaring di kasur selepas mandi. Enggan rasanya menuju PIM, tetapi janji adalah janji dan seorang pria pantang membatalkan janji. Semalam, 15 menit pertama di bulan Desember telepon genggamku berbunyi. Sebetulnya aku enggan mengangkat, tetapi pada panggilan kesepuluh aku menyerah. Penting, pikirku. Jika tidak,  dia tak mungkin segigih ini.

Suaranya pelan, seperti berbisik. Menanyakan kabar adalah kalimat keduanya setelah jeda tiga puluh detik dari kata hallo. Mungkin malam terlalu dingin hingga membekukan semua kata dari mulutnya, atau memang jarak kita terlalu jauh  hingga kosa kata berhenti dalam kerongkongannya. Bukan jarak satuan meter yang kumaksud, tapi jarak hati. Dan kamu tau, jarak itu melebihi satuan meter yang ada di muka bumi.

Aku lalu mengambil segelas air hangat agar kebekuan diantara kita mencair. Segelas pertanyaan tentang kabarnya, kesibukannya dan kedua orang tuanya sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Perlahan kebekuan mencair, kata-kata mulai meluncur dari bibirnya. Pertanyaan serupa dia lontarkan kepadaku, tapi aku menjawab sekenanya.  Entah agak malas rasanya berbagi lagi dengan orang yang hampir aku anggap tiada.

Namun keadaan kembali membeku. Segelas air hangat yang kubawa tak cukup mencairkan bongkahan es yang terlalu besar diantara kita. Aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Hampir saja kututup, tiba-tiba dia menanyakan waktu luang. Mengajak bertemu di sebuah kafe yang terletak di bilangan Selatan Jakarta, tempat biasa kita menghabiskan waktu.

“Aku tak bisa menjanjikan waktu, pekerjaan baruku menuntut lebih banyak waktu yang aku punya. Jika tidak terlalu penting, bicaralah sekarang. Jika memang sangat penting, aku usahakan sabtu depan,” kataku kepadanya yang dijawab dengan iya, sabtu depan.

Kini dia menagih janji yang kuucapkan minggu lalu. Aku tak ingin membahas masa lalu.  Meski sudah satu tahun berlalu, rasa sakit dikhianati masih membekas kuat di hatiku. Aku memang bukan orang baik, tetapi aku belajar mencintanya dengan cara yang baik. Aku memang brengsek tetapi aku menghormatinya dengan tidak membagi hatiku dengan orang lain. Tapi dia tidak pernah melihat hal itu. Dia menganggapku seperti mainan, menyenangkan lalu meningggalkannya ketika bosan.

Kakiku menginjakkan tempat setahun lalu kita biasa  menghabiskan waktu. Duduk di sudut kiri, dekat jendela. Melihat jalanan padat memberi keasyikan tersendiri bagiku. Aku memutuskan untuk duduk di sudut kanan, malas mengenang masa lalu. Namun kuurungkan ketika melihatnya sudah duduk di sudut kiri sambil menghadap jendela. Pemandangan langka bagiku. Dia tak pernah tepat waktu, tiga puluh menit adalah angka minimal menunggunya. Dan lima menit adalah batas toleransinya menungguku. Lebih dari itu, dia pergi. Marah.

Aku duduk, mengambil menu yang ada di atas meja. Mencari-mencari menu yang pas. Hampir tiga menit aku menjatuhkan pandangan pada menu yang tak kunjung kupilih.

“Kopi hitam saja ya, sudah kupesan koq untuk kamu,” katanya pelan dan membuatku seketika mengangkat kepala dan melihat wajahnya.

“ Iya, terima kasih,” jawabku.

“Kamu masih marah kepadaku, masih tidak ingin bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Aku kangen masa-masa itu. Kamu kangen nggak? “

Aku diam, membiarkan pramusaji meletakkan kopi di meja. Menghirup aromanya dan menyeruputnya perlahan. Aku sengaja tak menjawab, dari raut mukanya terlihat ada kalimat yang tidak tuntas.  Aku membiarkan dia menyelesaikannya terlebih dahulu.

“Aku minta maaf pernah meninggalkanmu untuk seseorang yang pada akhirnya  meninggalkanku. Sejak putus denganmu, aku tiga kali menjalani hubungan. Mereka semua brengsek. Mereka tidak benar-benar mencintaiku. Aku salah, aku minta maaf tidak pernah menghargai perhatianmu.”

Aku kembali menyeruput kopiku. Diam. Aku tak siap. Tak kukira dia kan mengatakan hal ini. Aku pikir kita hanya ingin berdamai, tidak lebih. Aku menarik nafas dalam.

“Ketika aku mengirimkan pesan singkat dan membalas pesan-pesanmu setelah kita berpisah, artinya aku sudah memaafkanmu.”

“Kamu kan sudah memafkanku, apa artinya kita bisa bersama seperti dulu?” tanyanya dengan senyum mengembang di bibirnya.

“Memaafkanmu adalah satu hal. Membangun kembali sebuah hubungan adalah hal yang berbeda. Memaafkan bukan berarti mengembalikan keadaan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Memaafkan adalah cara kita berdamai dengan masa lalu. Aku memang sudah memafkanmu.  Tidak semua salahmu, aku juga salah tidak bisa membahagiakanmu. Tapi sebaiknya kita menjadi teman baik, seperti permintaanmu setahun yang lalu kepadaku.”

Dia terdiam, senyum di wajahnya menghilang. Buliran kecil menetes dari wajahnya yang tertunduk. Aku membelai rambutnya dan mengucap kata maaf. Lalu pergi dan tak ingin menoleh kembali.