Pernah kah kamu merasa begitu patah, kecewa tanpa pernah ditinggalkan. Kecewa tak melulu soal kehilangan dan ditinggalkan. Dia telah memilih jalan berbeda dan kamu tak mampu mengejarnya.
Aku menunggunya di coffe shop Mall Summarecon Serpong. Bukan di smoking area seperti yang sering aku lakukan, untuknya aku rela berhenti merokok (sejenak). Aku ingin membuatnya nyaman berlama-lama denganku. Aku suka cara dia menatapku, wajah polosnya dengan senyum yang tidak pernah terlepas membuat semua terasa begitu nyaman berlama-lama dengannya. “Senyum itu kan ibadah Kak,” katanya sambil terseyum dan membuat matanya hanya terlihat segaris.
Aku merindukan obrolan-obrolan panjang dengannya. Melalui twitter, WhatsApp hingga telpon, untuk yang terakhir kita jarang melakukannya. Aku merindukan obrolan yang tak nyambung, seringkali dia meng-copy paste watsapku, “Bagian ini maksudnya apa kak?” lalu aku menjelaskan dengan panjang lebar, tak ada marah atau kesal. Justru itu yang membuat aku merindukannya.
Namun, kali ini aku tak menemuinya untuk obrolan-obrolan panjang. Bukan aku tak merindukannya lagi, sampai saat ini aku tetap merindukannya. Sudah saatnya aku mundur perlahan. Sudah saatnya aku pergi, bukan pergi dalam jarak satuan meter. Pergi dari kehidupannya, pergi dari obrolan di twitter, watsap dan telpon. Pergi dari kekakuan yang mulai menjalar satu bulan belakangan ini. (belajar) pergi dari merindukannya.

Sore ini aku mandapati amplop cokelat. Seorang petugas pos mengantarkannya tadi siang, ibuku yang menerimanya. Aku melapalkan doa sebelum membukanya, berharap bahwa itu surat panggilan kerja. Namun setelah kubuka, aku kecewa. Bukan surat panggilan kerja, karena ada ada poto di dalamnya dan dua lembar kertas dengan tulisan tangan di atasnya.
Poto pertama seorang anak laki-laki yang kutaksir berusia dua tahun. Satunya lagi bayi perempuan yang mungkin berusia tiga bulan. Sebetulnya aku tak dapat membedakan apakah bayi itu perempuan atau laki-laki, aku hanya menebak-nebak. Melihat boneka dan berbagai mainan perempuan di sisinya, aku mengasumsikan kalau itu bayi perempuan.
Aku masih enggan membaca dua lembar kertas yang terbubuhkan tulisan tangan di atasnya. Setelah meyakinkan diri tak mengenal dua balita tersebut, aku membaliknya. Di balik poto balita laki-laki terdapat nama, Kafka Alfarisi dan Surriya di balik poto balita perempuan itu. Dua nama itu tak asing bagiku, pasti dari seseorang yang pernah ada dalam masa laluku. Tak butuh waktu lama untuk memutuskan membaca dua lembar kertas tersebut.
# # #
Apa kabar, Du?
Masih kuat minum kopi hitam bergelas-gelas dan satu bungkus rokok dalam sehari, pasti masih. Kamu bukan orang yang mudah berubah kan. Butuh cinta yang luar biasa yang mampu merubahmu dan aku tahu itu bukan tugasku, bukan tugas orang-orang sebelum aku. Itu tugas wanita yang akan mendampingi dirimu sebagai istri.
Melalui surat ini, Aku hanya ingin meminta maaf telah lancang menggunakan nama yang kamu persiapkan untuk anakmu, anak kita  yang tidak pernah terwujud. Jangan geer, ini kulakukan bukan karena masih mencintaimu. Aku sudah menguburnya dalam-dalam sejak seseorang me-lapazkan Ijab qobul untukku di masjid dekat rumahku. Aku hanya ingin meminta maaf karena tak berani berterus terang kepadamu bahwa aku sudah dijodohkan. Aku ingin meminta maaf melalui  pemberian nama untuk anak-anakku, meski aku tahu kamu tak mungkin marah. Aku mengenalmu sebagai sosok yang sabar, meski marah kamu akan diam lalu menguburnya dalam-dalam.
Kamu lihat poto yang kusertakan dalam surat ini, Kafka kini berusia dua tahun dan Surriya berusia dua bulan. Sudikah kamu dipanggil Om oleh mereka, aku berharap kamu tak keberatan. Pada saatnya aku akan membawa mereka kepadamu, mereka kan mengenalmu sebagai sahabat terbaik ibunya. Iya sahabat, tak lebih. Maaf jika harus menyembunyikannya rapat-rapat.  
Du, butuh tiga tahun lebih aku mengumpulkan keberanian untuk menghubungimu. Meski keberanianku hanya dalam bentuk surat. Aku tak cukup berani menghubungimu melalui telpon, aku takut banyak air mata yang tumpah karenanya. Sampai hari ini, rasa bersalahku belum mengering, rasa bersalah meninggalkanmu tanpa kabar.
Tapi kamu pasti tahu alasanku meninggalkanmu. Ayah sudah tua Du, dia ingin melihat anak terakhirnya menikah. Bukan aku tak percaya pada keseriusanmu, tapi kamu masih kuliah, masih harus kerja, sedangkan waktu Ayah tak banyak. Kamu sendiri pernah bilang, jika seorang anak bisa mengkhianati orang tuanya demi orang lain, bagaimana dia bisa menjadi ibu buat anak-anakmu kelak. Aku memutuskan untuk mengikuti kemauan ayah dan meninggalkanmu.
Du, hampir setiap malam selama satu tahun aku menangis. Merasa bersalah karena pernah meninggalkan seseorang yang benar-benar mencintaiku. Tapi sejak kelahiran Kafka aku sadar, aku bukan hanya sebagai seorang istri tapi juga seorang ibu. Apakah masih pantas jika seorang ibu menangisi orang lain yang sudah bukan siapa-siapa lagi untuknya. Melalui Kafka aku belajar memaafkan diriku sendiri meski aku tahu, rasa bersalah kepadamu tak pernah benar-benar kering.
Du, jika aku pernah mendengar dari teman-teman kita kondisimu terpuruk, aku berharap setelah tiga tahun kamu sudah bangkit. Tak ada yang paling membahagiakan melihat anak-anakku tumbuh menjadi anak yang bahagia dan melihatmu juga bahagia.
Semoga selalu bahagia Du.
Mala, ibu dari Kafka dan Surriya

# # #
Sudut mataku basah tapi tak tumpah. Aku sudah mengikhlasmu pergi sejak hari itu, aku tahu keadaannya serba sulit buat kita. Aku masih kuliah tingkat akhir, tentu tak mungkin melamarmu dengan bermodalkan gelar kesarjanaannku. Semua itu tak cukup.  Aku mengambil selembar kertas, menuliskan balasan untuknya.
Mala, aku sama sekali tak marah jika kamu menggunakan nama yang kupersiapkan untuk anakku, anak kita, kamu berikan untuk anakmu. Aku bisa mencarinya lagi, toh aku juga masih sendiri dan tidak berencana menikah dalam waktu dekat. Aku juga tak marah kamu meningalkanku tanpa kabar, aku tahu keputusan ini tentu berat untukmu.
Sampai hari ini, aku belum bisa memaafkan diriku karena tak bisa menepati janjiku untuk menemuimu dua miunggu sebelum hari pernikahanmu. Kalau aku tahu itu adalah perpisahan terakhir, dan kalau aku tahu dua minggu setelahnya kamu akan menikah,  tentu aku kan meninggalkan semua kegiatanku untuk bertemu denganmu. Tapi semua sudah terjadi, aku hanya bisa mengutuki rasa bersalahku karena tak berjuang lebih keras untuk meyakinkan orang tuamu.
Mala, suatu hari nanti, saat anak-anakmu sudah dewasa, aku akan menghampiri mereka. Sebagai sahabatmu, sebagai Om mereka. Bukan sebagai mantan ibunya. Toh aku juga mengenal suamimu dengan baik, dia kakak kelas kita di SMA dan kakak Kelasmu di UHAMKA.  Salam buat suamimu, salam manis juga untuk Kafka dan Surriya.
Tapi kemudian aku merobeknya. Mala tak butuh jawaban, dia sudah berbahagia. Aku juga bahagia. Ada cinta yang tak pernah hilang dari kita, melalui nama anak-anakmu, cintaku terus tumbuh bersamamu.