“Kalau saja membuang masa lalu semudah membuang sesuatu ke tong sampah. Aku ingin amnesia, memotong dan memilah-milah  kenangan mana yang ingin aku bawa dan aku tinggalkan atau menitipkannya padamu,” katamu suatu sore.

“Seandainya itu kamu lakukan, rasa sakitnya akan bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Karena, setiap kali patah, hati kita belajar membalut dan mengobati. Ketika kamu amnesia, kamu harus memulainya dari awal, belajar untuk kembali menyembuhkan luka dan membalut yang patah,” kataku yang tak sempat terucap. Hanya bermain-main di kepala, lalu tengelam dengan sendirinya.

Langkahmu kini terhenti di depan pintu, kamu hanya perlu satu langkah untuk benarbenar pergi. Mungkin langkahmu akan lebih ringan ke depan, karena semua kenangan kamu titipkan padaku, sesuatu yang tidak mau kamu bawa untuk masa depanmu. Buatmu, pergi adalah sebuah perjalanan baru tanpa membawa beban masa lalu.

Atau mungkin, langkahmu akan terasa lebih berat karena kamu  harus belajar semuanya dari awal. Saat kamu jenuh mencari jalan, memandang ke depan, kamu tak punya alasan untuk menengok ke belakang. Kamu tak punya acuan dari masa lalu yang kamu titipkan, sedangkan kata “titipkan” bagiku tak lebih dari membuang, karena kamu tak mungkin akan mengambilnya suatu saat nanti.

Pintu itu masih terbuka, masih sama seperti saat kamu pertama kali datang menawarkan sebuah harapan. Apa pun keputusanmu, tidak ada garansi kebahagiaan di dunia ini. Semoga kamu bahagia dengan keputusanmu, semoga kamu baikbaik saja meski dunia tidak pernah baikbaik saja.



“Aku mau potong rambut, menurutmu lebih bagus tetap panjang atau pendek. Hmmmm, kamu suka rambut aku panjang atau pendek,” tanyamu melalu pesan singkat kemarin sore. Panjang, jawabku singkat melalui pesan singkat. Setelah itu tak ada lagi balasan darimu dan aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaanku.

Hari ini kita bertemu, seperti janji kita dalam pesan singkat sebelum kamu menanyakan perihal rambutmu yang aku suka. Aku menungumu di restoran cepat saji di Cilandak Town Square. Kamu mungkin sedikit terlambat, Bandung-Jakarta semestinya bisa ditempuh dalam dua sampai tiga jam tetapi  macetnya jalan  membuat perjalanan lebih lama dari biasa. Aku juga sengaja membawa laptop, mengantipasi kedatanganmu dengan mengerjakan pekerjaan sampinganku yang mulai mendekati garis mati.

Setelah satu jam menunggu, kamu datang dengan tergesa-gesa. Keringat mengucur dari wajahmu. Aku hanya tersenyum lalu meminta pramusaji membawakan orange juice dua gelas sekaligus. Kamu pun tersenyum seperti biasa, cengengesan menurutku. Aku kembali sibuk dengan laptopku, menyelesaikan pekerjaanku yang hampir tuntas.

“Koq gak komentar sih?” tanyamu sambil meletakkan gelas orange juice pertamamu yang tandas.

“Apa yang harus dikomentarin?” tanyaku sambil menatapmu sejenak lalu kembali berkutat dengan pekerjaanku.  

“Kemarin kamu bilang, lebih suka rambutku yang panjang. Tapi aku sengaja potong rambutku jadi pendek. Koq nggak marah?”

Pagi kembali datang, dengan muram.  Sisa hujan semalam masih menggelayut di langit. Pohon kelengkeng di depan rumah ambruk, cabang-cabangnya patah tak kuat menahan terjangan angin pengiring hujan. Jalan di belakang rumah seketika menjelma menjadi kolam kecil, membuat siapa saja malas melewatinya.

Pagi kembali datang, tak ada yang istimewa kecuali kamu mengangap bernafas adalah keistimewaan dari pagi. Menganggap  kamu masih dipercaya tuhan untuk menjalani sebuah petualangan. Meski pada akhirnya kamu memilih untuk menjadi penonton, selalu duduk manis dengan sesekali terkejut dan mengomentari pertujukkan hidup orang lain. Tanpa sadar di belakangmu orang lain menjadikanmu aktor, aktor yang payah pastinya. Tidak kah kamu lelah hanya menjadi penonton.

Pagi kembali datang, dengan sebuah rutinitas. Tidak bosankah kamu melewati jalan yang sama setiap hari. Mungkin kamu perlu mencari jalan lain, sedikit terlambat tak mengapa. Bukan kah sebuah keterlambatan diperlukan dalam proses perjalanan baru. Tak perlu mengumpat, kamu hanya perlu memutuskan, untuk tetap bertahan pada rutinitas yang membosankan atau menemukan kembali secarik kertas bertuliskan harapan.

Pagi kembali datang, dengan sebuah pertanyaan. Aku menyeduh kopi, menyulut sebatang rokok dan mencari jawaban yang Pagi lontarkan kepadaku. Semoga esok, pagi kembali datang, dengan pertanyaan baru. Jika tidak, aku kan menyeduh kopi dan menyulut sebatang rokok.

Aku merindukan jogging  pagi hari di Taman Suropati atau sekadar duduk sore menikmati alunan musik dari berbagai komunitas yang memang berkumpul di akhir pekan. Jika kamu bosan mendengarkan petikan gitar, kamu hanya perlu jalan beberapa langkah untuk bisa menikmati alunan biola. Dawainya yang digesek mampu menentramkan hati. Tapi jangan berharap selalu mulus, tidak ada petikan yang bagus-bagus saja dan tidak ada suara biola yang mengalun indah terusmenerus. Sesekali, kamu akan mendengarkan suaranya yang membuatmu  ingin segera meninggalkannya.

Biasanya, aku menghabiskan sore hari akhir pekanku dengan dia, seseorang yang tidak ingin aku sebut namanya. Kami tak seperti sepasang kekasih kebanyakan yang menghabiskan waktu berdua pada sabtu malam. Sabtu malam, waktu kami bersama teman, sahabat atau keluarga. Jadwal kami bertemu adalah minggu pagi, atau sore sambil dudukduduk di taman ini.

Aku dan dia menjadi pelanggan tetap Mbok Ijah, penjaja kopi keliling yang mangkal sore hari di taman ini. Hanya sore hari karna pada malam harinya, mbok Ijah akan menjajakan kopinya ke taman menteng. Mungkin tak banyak yang tahu siapa Mbok Ijah, bagi seorang pembeli yang terpenting adalah barang dagangannya.  Kamu tak perlu menguras energi hanya untuk tau siapa penjualnya.

aku mencari buku-buku koleksiku yang disimpan ibuku di dalam gudang. Sejak pindah rumah setahun lalu, dan sejak aku memutuskan untuk merantau tiga tahun lalu, ibuku menyimpan sebagian barang-barangku di gudang, termasuk koleksi buku-bukuku yang memang tidak ada yang menyentuhnya selain aku. Adikku lebih tertarik dengan dunia digital daripada membaca buku koleksiku yang 90 persen novel.

Aku memakai masker, mengantisipasi debu yang akan membuat hidungku gatal dan tak berhenti bersin-bersin jika menghirupnya. Barang-barang seperti sepeda, sofa, bahkan jam berukuran besar dari Jepara peninggalan ayah masih disimpan oleh ibu. Ibu sengaja menyimpannya di gudang, membiarkan jam itu tetap berdenting di tengah rumah sama saja memanggilnya untuk terus hidup di masa lalu, masa di mana ayah masih bersama kita. Tetapi ibu juga tak ingin benda kesayangan suaminya dibuang, mungkin sesekali dia akan melihatnya lalu menutup kembali pintu gudang sekaligus menutup masa lalunya.

Aku melihat tumpukan kardus di samping kanan jam tua itu.  membuka sedikit bagian atasnya untuk memastikan isinya.  Ada delapan kardus tersusun rapi berisikan koleksi bukuku sejak jaman SMA hingga kuliah. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. Tapi gerakanku terhenti ketika ekor mataku menangkap kaleng berbentuk bulat bekas biskuit di atas jam tua itu. Hampir saja aku mengacuhkannya jika sepucuk surat tak menyembul keluar dari kaleng yang tak tertutup rapat itu.

Ibu dan ayah sangat romantis ya, bahkan di usinya yang sudah tak muda lagi masih seperti anak muda yang main surat-suratan, gumamku sambil tersenyum. Aku kembali meletakkan kardus  dan mengambil kaleng tersebut. Melihat tumpukan surat di dalamnya, aku memutuskan untuk membacanya dan menunda merapihkan buku. Masih ada banyak waktu untuk menata kembali buku-bukuku, kataku dalam hati.

Aku membaca beberapa surat dalam kaleng tersebut. Surat-surat itu seperti potongan puzzle yang jika disusun akan menjadi sebuah cerita dan sebuah foto menjadi pelengkap dari potongan-potongan puzzle tersebut. Dengan tergesa-gesa aku menghampiri ibu yang sedang minum teh di ruang tengah.

“Koq ibu nggak pernah cerita?” tanyaku sambil melempar kaleng di atas meja minta penjelasan.

“Buat apa, itu kan masa lalu dan udah lewat juga. Nggak ada yang baik dari membenci orang. Itu cuma buat kamu susah sendiri.”

“Tapi kenapa ibu sembunyiin ini dari aku sama Arya. Kenapa ibu harus tanggung sendiri,”

“Kalau kamu nanti jadi orang tua, kamu akan ngerti bagaimana bertahan dalam kesakitan. Saat kamu jadi orang tua, kamu gak berfikir semua tentang kamu tapi semua tentang anakmu, keluargamu.  karna itu, ibu bisa tahan sampai sekarang. Dan terpenting, Ibu nggak mau kamu  dan Arya membenci dia, bagaimana pun dia ayahmu. “

Aku mengambil kaleng berbentuk bundar itu. Merobek-robek surat dan selembar foto bergambar ayahku dan seorang perempuan dengan bayi kecil di pangkuannya. Aku membakarnya di belakang rumah, agar Arya tak mengetahuinya. Arya tak boleh ikut membenci ayah, batinku.

*Di balik pintu, Arya duduk lemas terisak mendengar percakapanku dengan ibu.