“Esok sudah idul Adha Nak. Orang-orang dari seluruh penjuru dunia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Berlomba-lomba menunaikan rukun islam yang kelima, menyempurnakan ibadah mereka. Mencium hajar aswad dan berdoa apa saja di depan Ka’bah. Semoga saja ibumu masih diberi kesempatan untuk melewati bulan berkah ini tahun-tahun berikutnya.”
“Maafkan saya Bu, belum bisa mengantarkan ibu ke tanah suci. Kalau ada rezeki pasti akan saya berangkatkan ibu, doakan saja bu,” kataku dengan sedikit gugup.
“Bukan itu maksudku,  kau tak perlu memikirkan itu Nak. Anakku, bulan Dzulhijjah selain Idul Adha, merupakan datangnya musim nikah. Mereka mencari keberkahan dengan menikah di bulan ini. Tidakkah ada satu perempuan yang kamu cintai dan hendak menikahinya? Tidakkah kau rindu suara bayi di rumahmu yang sepi di perantauan sana?"
‘Ada satu perempuan yang amat kucintai Bu, namun dia pergi meninggalkanku sepuluh tahun lalu.  Sejak itu aku tak pernah bisa mencintai perempuan lain.’ Namun aku tak berani mengatakan pada ibuka perihal ini. Cukuplah kupendam kesedihan ini sendiri dan tak perlu membaginya dengan ibuku.
Aku pernah amat mencintai seorang wanita sepuluh tahun lalu, saat itu umurku dua puluh lima tahun. 
Aku bahkan ingin mengenalkannya pada Ibu. Sudah beberapa kali menjalin kasih dengan orang lain, namun baru kali ini aku beranikan diri untuk mempertemukannya dengan ibuku. Namun dia selalu menolak dengan alasan tak siap. Awalnya kupikir dia memang tak siap, karena hubungan kami masih baru dan belum berencana menikah dalam waktu dekat.  Belakangan kuketahui ketiaksiapannya bukan karena itu melainkan dia memilih kembali pada seseorang yang dulu pernah dia impikan menjadi pasangannya.
Kamu tahu Bu, anakmu bukan siapa-siapa. Umur dua puluh lima aku hanyalah seorang freelancer kacangan yang tak memiliki penghasilan yang memadai. Aku tak sehebat pria itu, pria yang menjanjikan harapan besar pada gadis yang kucintai dan meninggalkanku karena termakan rayuannya.  Seberapa keras pun aku berusaha, dia hanya menutup mata dan terus saja mengejar lelaki itu.  Lalu bagaimana bisa aku merebutnya kembali dan memintanya menjadi isteriku.  Sejak putus darinya, aku tak pernah bisa mencintai orang lain. Meski perkara menikah bukanlah semata soal cinta tetapi aku tak pernah bisa melakukannya. Tidak saat ini dan mungkin tahun-tahun berikutnya.
Ketiga adik perempuanku sudah menikah dan melahirkan cucu-cucu yang menggemaskan. Itu merupakan berkah bagi keluargaku, setidaknya dapat menghibur hati ibuku yang sedih karena kesepian ditinggal ayahku beberapa tahun lalu. dan sejenak melupakan kesedihannya karena melihat sulungnya-pria satu-satunya dalam keluarga- tak juga menikah.  Adik bungsuku tinggal di rumah menjaga ibu, kebetulan suaminya berdagang klontong di pasar dekat rumah.  Kedua adikku lainnya ikut merantau bersama suaminya.
Baik lebaran Idul Fitri, maupun Idul Adha aku selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah menjenguk ibuku. Meski lburan Idul Adha selama Idul Fitri, buatku itu lebih dari cukup untuk. Dua adik perempuanku lainnya juga datang. Kadang bersama suami dan anak-anak mereka, kadang hanya dengan anak-anaknya saja. Rumah sangat ramai dan hati ibu pasti senang melihat semua berkumpul di rumah.
Sesudah idul fitri dan makan ketupat bersama, aku selalu mendapti dirimuyang sedih.  Penyebabnya hanya satu, rasa rindu pada ayah bukan. Namun keceriaan cucu-cucumu yang memenuhi isi rumah membuatmu segera melupakan kesedihan itu. Aku juga merindukannya Bu. Pada sholat-sholat malamku, aku selalu berdoa untuk Ayah. Semoga tuhan memberinya tempat yang baik.
“Belum ada yang cocok saja bu, mungkin pada saatnya nanti akan datang, bersabarlah BU,” itu lah yang kuucapkan pada ibuku. “Tak cukupkan lima cucu dari anak-anakmu yang lain Bu?,”  aku mencoba mengalihkan pembicaraan ini. berusaha agar hatinya tak sedih.
“Ini bukan soal cucu Nak, mereka sudah cukup buatku. Ini tentangmu, tentang kesendirianmu,” kata ibuku sambil membelai rambutku.  Ada tetesan air yang jatuh di wajahku. Aku tak berani melihat wajah tua ibuku terlibih melihat matanya, dimana tetesan itu jatuh satu-satu menimpa wajahku yang duduk di pangkuannya. Meski sudah berumur, seorang anak tetaplah anak dan aku tak pernah malu untuk merebahkan kepalaku di pangkuannya.  Ibuku lalu pamit ke kamar, mengatakan lelah dan ingin tidur.
Suara Adzan subuh membangunku, maka kusegarakan mengambil wudhu di kamar mandi. Aku hendak pergi ke masjid namun hujan turun deras sekali, maka kubatalkan niatku dan mengajak semua anggota keluarga untuk shalat berjamaah di rumah. Aku tak juga melihat ibu, apakah dia sangat kelelahan menemani cucu-cucunya bermain kemarin hingga belum terbangun. Ibuku wanita yang taat beribadah dan selalu bangun sebelum adzan subuh berkumandang, adik bungsuku yang mengatakan hal itu.
Aku memasuki kamar ibu. Kamar dengan aroma lapuk dan tampat tidur bekelambu. Ibu tidur dengan posisi tubuh menghadap tembok. Rambutnya yang memutih tergerai menutupi bantal. Tangan kirinya bersembunyi di bawah bantal itu. Aku mengusap-usap tangan kanan ibuku dan memanggilnya perlahan. Namun tubuhnya dingin dan kaku. Aku membalikan badannya, memeriksa denyut nadinya, namun tidak kutemukan denyut dan tak kudengar suara detak jantungnya. Di luar hujan turun semakin deras, menyemarkan derasnya suara tangisku dan adik-adikku yang pecah karena kepergian ibu untuk selamanya.
# # #
Suara takbir bergemuruh, memecah sunyinya malam. Percikapan kembang api mewarnai langit depan rumahku. Ponakan-ponakan kecilku mengajakku bermain kembang api di teras rumah, membuyarkan ingatanku tentang kenanganmu lima tahun silam. Dimana aku masih merebahkan tubuhku di pangkuanmu dan perlahan melepas kepergianmu untuk selamanya. Selepas Ibu pergi, mereka-Adik dan ponakan-ponakanku- selalu kerumah setiap Idul Fitri dan Idul Adha.
Umurku kini empat puluh tahun Bu dan belum juga menikah. Aku merindukan pertanyaanmu soal pernikahan, pertanyaan yang sampai saat ini tak bisa kujawab. Setelah kepergianmu, tak pernah ada lagi yang bertanya. Adik-adik tentu tak berani menanyakan hal itu kepadaku. Mereka meminta anak-anaknya untuk menanyakan itu kepadaku, tentu aku hanya menjawab dengan senyuman lalu mengajknya bermain. Mereka pun lupa akan perntanyaan titipan itu.
Semoga selalu bahagia Bu dan kau juga, Ayah.



Mengapa jatuh cinta semudah ini, semudah kauberi pelukan padaku. Tapi mengapa, dicintaimu sesulit ini, sesulit kau berkata cinta padaku. –Compassio Veraque-

Aku berlari pada malam hari, mengosongkan seluruh beban dalam pikiranku. Seseorang pernah berkata padaku, saat kamu tak menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menghantui alam pikirmu, berlarilah. Semakin banyak pertanyaan yang datang, semakin kencanglah kamu berlari, hingga kamu merasa tak memiliki jantung dan paru-paru, hingga kulitmu terkelupas satu-satu sehingga kamu menyatu dengan alam. Berlarilah hingga lelah lalu tertidur lah.


Jika seseorang tidak tega mengusirmu dari kehidupannya, dia tidak menggunakan kata-kata, melainkan tanda. Pahamilah dan pergilah.

Percakapan-percakapan yang membosankan. Balasan-balasan yang singkat dan menghilang tanpa kabar adalah cara dia pergi dari kehidupanmu. Seharusnya, kamu tak perlu lagi menunggu, berharap semua akan baik pada waktunya. Hatinya sudah lama pergi dan kamu masih menunggu tanpa pernah menyadari  rasa dalam dirinya sudah lama mati. Kamu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.  Dia, seseorang yang kamu tunggu sudah menentukan jalannya dan jalan itu tak pernah mengarah kepadamu. Pahamilah dan pergilah.