Aku memandangi Ibu yang sedang berdiri di halaman belakang rumah sambil mengadahkan tangan ke langit. Mulutnya komat-kamit, kusebut begitu karena aku tak paham apa yang dibicarakannya dan bahasa yang digunakannya pun terdengar aneh. Jarakku dengan ibu tak lebih dari tiga meter, aku sedang duduk di saung tempat kami menghabiskan waktu bersama jika sore tiba. Sekadar bercakap-cakap atau mengerjakan kesibukan masing-masing.

Tiba-tiba ibu bersimpuh, tangannya masih saja mengadah ke langit. Aku hampir saja turun dari saung dan hendak menghampirinya. Kupikir, ibu kelelahan dan hendak jatuh tapi telapak tangan kanannya melambai ke belakang, memberi isyarat untukku agar diam saja dan tak perlu mencampuri urusannya.  Matahari terik sekali sore itu, saat ibu menjatuhkan kepalanya di atas rumput, hujan turun satu-satu. Tak ada awan gelap, tak ada mendung, matahari masih saja terik dan hujan tetap turun dengan tenangnya. 


Nai,
Jika kau punya mesin penghenti waktu, gunakanlah sekarang. Sekarang waktunya untukmu menghentikan detik, sebelum diri kita terus menua lalu menyesal selamanya.

Nai,
Saat dirimu berpikir dapat menghentikan waktu, waktu terus berjalan tanpa pernah menunggu. Kamu masih saja terjebak dengan alam pikirmu, alam dimana hanya dirimu di dalamnya tanpa seorang pun tahu apa yang ada di benakmu.

Nai,
Kita tak perlu menunggu mesin penghenti waktumu terwujud. Kita bahkan tak perlu bersembunyi dari kenyataan yang merenggut harapan. Kita hanya perlu berdiri, menatap arah depan sambil melambaikan tangan kepada masa lalu.

Nai,
Tidak ada manusia yang tidak pernah jatuh, sudah kodratnya dan hukum alam mengatur itu. penyesalan bukan hal yang tiba-tiba hadir dan mengagetkanmu. Dia berada di sisi manusia, menunggumu jatuh, lalu datang menghampiri.

Nai,
Berdamailah dengan masa lalu, berdamailan dengan dirimu sendiri. Kita tak perlu lagi berdebat apa pun, kita hanya perlu menerima, waktu kebersamaan kita sudah habis. Itu saja.